A. PENDAHULUAN
Di Indonesia agama memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Yang dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia
yaitu “Pancasila”, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di Indonesia terdiri dari berbagai macam
agama yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Diantaranya adalah
agama Hindu, Budha, Kristen, Islam, Protestan, Konghuchu, dan juga Hindhu
Kaharingan salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini.
Hindu Kaharingan agama yang berkembang
khususnya di wilayah Kalimantan. Agama Hindhu kaharingan sebagai kepercayaan
atau keyakinan asli suku dayak. Sebagai sebuah agama Hindu Kaharingan juga
memiliki pedoman yang menjadi dasar yaitu Kitab Suci Panaturan yang menuturkan
tentang proses penciptaan alam semesta beserta isinya oleh Ranying Hatalla
Langit (yang di yakini sebagai Tuhan agama mereka).
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Pengertian Agama Hindu Kaharingan, sejarah agama Hindu Kaharingan, Tuhan, pokok-pokok
ajaran, kitab suci, dan beberapa upacara penting dalam Hindu Kaharingan
(seperti upacara kematian dan upacara Tiwah) ,
dan hari-hari besar Hindu Kaharingan.”
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Agama Kaharingan
Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (Dayak
kuno)[1]
Haring yang berarti hidup. Kaharingan dapat juga diartikan sebagai
kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit. Ranying,
merupakan nama yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak. Dalam keyakinan
Dayak Ngaju, Agama Kaharingan telah ada semenjak awal
penciptaan, yaitu saat Ranying Hatalla Langit
menciptakan semesta.[2]
Agama Kaharingan
sering dilambangkan dengan Batang Haring atau Batang
Garing
yang berarti Pohon Kehidupan. Pohon Kehidupan ini memiliki makna filosofis
keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan Tuhan. Sebuah triangulasi (hubungan antara ketiganya).
Pohon Batang
Haring dengan Balanga atau
Kataladah (guci/pot/wadah) itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda
tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan. Dunia atas
dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah yang dilambangkan melalui guci. Sementara
buah yang terdapat pada Batang Haring itu melambangkan
kelompok besar dari umat manusia. Buah Batang Haring yang menghadap arah
atas dan bawah adalah pengingat bagi manusia agar senantiasa menghargai dua
sisi yang berbeda dengan seimbang.
Tempat bertumpu Batang Haring dinamakan Pulau Batu
Nindan Tarung. Pulau tempat kediaman manusia pertama kali sebelum diturunkan ke
bumi. Di bagian puncaknya terdapat burung enggang dan matahari yang merupakan
lambang-lambang dari Ranying Hatalla Langit,
sumber segala kehidupan. Dengan demikian manusia diingatkan bahwa
dunia yang sekarang ini adalah tempat tinggal sementara karena tempat asal
manusia yang sebenarnya berada di dunia atas, Lawu Tatau.[3]
Kata kaharingan berasal dari bahasa Dayak Ngaju yang muncul dan dipakai
dalam upacara keagamaan. Dalam bahasa sangiang yang berasal dari ritual
para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, kata kaharingan berarti ‘hidup
atau kehidupan” Contoh pemakaian kata “ kaharingan “ dalam bahasa sangiang:
1. Liau haring Kaharingan (Roh Manusia Yang
Suadah Meninggal dunia).
2. Nyalung Kaharingan Belom(Air Kehidupan
/menghidupkan)
3. Intan Kaharingan (Cahaya Kehidupan)
4. Lelak Intan Kaharingan (Pancaran Cahaya
Kehidupan)
5. Tasik Kaharingan Belom (Laut Kehidupan Yang
Hidup)
Dalam bahasa Dayak Ngaju sehari-hari arti kata
“kaharingan” adalah hidup atau ada dengan sendirinya. Hubungan dengan arti kata
ada dengan sendirinya, bahwa kaharingan adalahh semacam plasma nutfah yang
ditinggalkan oleh para leluhur.[4]
2. Sejarah Agama Hindhu Kaharingan
Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah.agama leluhur masyarakat dayak ngaju, yang telah ada
sejak dua manusia laki-laki dan perempuan pertama diciptakan, yaitu Menyamai
Tunggal Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau janjulen Karangan
Kamasan Tombon (Panaturan 1973 dan 1996). Menurut mereka kaharingan telah
ada sebelum datangnya Hindu, Budha, Islam dan Kristen. [5]
Mengenai mengapa agama Kaharingan menggunakan kata “Hindu”. Menurut
(Parada L. KDR. S.Ag. M.Si selaku Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya)
bahwa Kaharingan
tidak mendapat tempat alias tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini
telah lebih dari 68 tahun meredeka, Pemerintah Indonesia belum dapat memberikan
pengakuan resmi terhadap Kaharingan sebagai “agama”. Pada
Tahun 1980-an para penganut Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.
Pemerintah Indonesia pada masa itu mewajibkan penduduknya untuk menganut salah
satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Integrasi disini yang
dimaksud bukan berarti Kaharingan pindah ke agama Hindu, melainkan
penggabungan. Karena seluruh ajaran yang ada di Kaharingan diakui sebagai
ajaran agama Hindu. Dan menurut beliau bahwa mereka mengakui bahwa Agama Hindu
tertua adalah Hindu Kaharingan, mengingat kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Tokoh integrasi antara agama Kaharingan dengan Hindu adalah Lewis
KDR selaku ketua Majelis Besar Agama hindu Kaharingan (MBAHK) yang diberi gelar
“I Puttu Jata Mantra”. Dan kemudian setelah itu mulai berkembanglang Kaharingan
ini, mulai adanya Sekolah Tinggi,PNS. Yang sebelum pengintegrasian itu semuanya
belum ada.
Secara terminology “ Kaharingan diartikan
sebagai nama agama yang bpertamakali muncul pada 17 April 1944, dalam tulisan
Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan
(Riwut 1944). Pada tahun 1945 saat japing berkuasa dalam tulisannya
Beberapa Keterangan Tentang Dajak, beliau dengan jelas memakai istilah “ Agama
Dajak Kaharingan”. Dan sekitar pertengahan tahun 1945 pemerintah
militer Banjarmasin ingin mengetahui kejelasan nama dari agama tersebut, karena
sepengetahuan mereka orang-orang dayak tidak hanya beragama islam dan Kristen
saja melainkan ada yang menganut agama tersendiri. Yang oleh mereka dinamai
sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helu”. Dipanggil lah dua orang
dayak ngaju yang bernama Yohanes
Shalihah[6]
dan W.A. Samat. Sahalihah spontan menjelaskan bahwa nama gama orang Dayak
adalah “Kaharingan” yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala
Langit”. Sejak itulah kemudia Kaharingan diadopsi oleh pemerintah militer
Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut agama yang dianut
oleh orang dayak.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, Departemen
Agama menetapkan bahwa setiap agama harus memenuhi persyaratan berikut: agama
wajib berasaskan pada “ketuhanan” serta Kitab Suci atau sejenis naskah suci;
suatu gedung khusus untuk pelayanan ibadah harus didirikan; dan agama resmi
wajib mengakui beberapa hari keagamaan tahunan. Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MBAHK) kemudian memasukkan sejumlah penyesuaian di dalam
Kaharingan agar dapat memenuhi segala syarat Departemen Agama. Tuhan Yang Maha
Kuasa Kaharingan, yang menciptakan serta melengkapi dunia dan alam semesta,
diberikan nama ‘Ranying Hatalla Langit Jatha Balawang Bulau’. Buku ‘Panaturan.
Tamparan Taluh Handiai’ yang artinya ‘Asal Muasal. Sumber Dari Semua
Kehidupan’ menjadi kitab Suci Kaharingan. Dengan subsidi dari pemerintah
Indonesia, gedung ‘Balai Basarah’ dibangun di Palangka Raya untuk
pelayanan tetap umat Kaharingan. Kemudian, untuk memenuhi syarat keempat, tiga
hari keagamaan ditetapkan MBAHK, yakni: Hari Pertanian, Hari Kebudayaan
dan Hari Syukuran Umum. Tidak cukup hanya mengatur pembentukan serta
perkembangan melalui keempat syarat tersebut pembentukan serta perkembangan
agama Hindu Kaharingan melalui keempat syarat tersebut, pemerintah juga
menyusun daftar peraturan mengenai pelaksanaan upacara kematian Tiwah.[7]
3.
Tuhan Agama Hindu Kaharingan
Dalam kamus yang berjudul An English Readers Dictionary
oleh A.S.Hornby, Theologi diartikan sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Tuhan,
alam semesta, tentang keyakinan agama yang mendasar. Berdasarkan pengertian
diatas, Theologi Hindu Keharingan mengandung pengertian yaitu Ilmu yang
mempelajari tentang Tuhan dan alam semesta berdasarkan keyakinan agama Hindu
Kaharingan yang mendasar. Keesaan Tuhan tertuang dalam Kitab Panaturan yaitu:
Pasal 1 Ayat 2: Ie ije tamparan taluh handiai mukei kahain
kuasai, Jai panapatuk sukup simpan murei japa jimat tanteng, hayak auh nyahu batengkung
ngaruntung langit, homboh malentar kilat basiwing hawun, palus ambun ije dia
bajahuntun tanduk enun basansinep isen baterus kening, badandang manjadi balawa
hayak barasih, lenda-lendang, linge-lingei, hayak le hamauh mananggare arepe:
AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balai Bulau Napatah Hintan, Balai Hintang
Napatah Bulau marung laut bapantan Hintan.
Artinya: ”Ia adalah awal segala kejadian
memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya Ia Yang Maha Sempurna; menyatakan
keagungan dan kemuliaan-Nya, dan bersama dengan itu bergetarlah alam semesta
laksana guntur menggelegar langit,petir dan halilintar menggetar semesta alam.
Maka memancarlah cahaya terang yang bersih suci, menghalau kegelapan alam,
serta Ia yang awal segala k.ejadian, berfirman dan menyatakan diri-Nya: AKU
INILAH RANYING HATALLA yang bertahta pada BALAI BULAU NAPATAH HINTAN BALAI
HINTAN NAPATAH BULAU, dikelilingi TASIK MALAMBUNG BULAU, LAUT BAPANTAN HINTAN.”
Pasal 1 Ayat 3: AKU TUH RANYING HATALLA ije paling kuasa,
tamparan taluh hindiai tuntang kahapus, tuntung kalawa jetuh iete kalawa
pambelum, ije inanggare-KU gangguranan area bagare HINTAN KAHARINGAN.
Artinya: “AKU INILAH RANYING HATALLA Yang Maha
Kuasa, awal dan akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-KU yang terang,
bersih dan suci, adalah cahaya kehidupan yang kekal abadi dan Aku disebut ia
HINTANG KAHARINGAN. (sudah mereka bertemu diatas puncak bukit Kangandung
Gandang, Kereng Rabia Hapalangka Langit, mereka membuka kuasa dan
kebesaran-Nya. Bersama itu Ranying Hatalla Langit berfirman alangkah indahnya
jika Aku menjadikan bumi, langit, bulan, bintang, matahari dan segala isinya).
(penaturan pasal 1 Ayat 9).”[8]
4.
Ajaran Agama Hindu Kaharingan
Agama
Hindu Kaharingan percaya tidak kepada perwujudan Tuhan yang tunggal,
tetapi juga percaya bahwa Tuhan sebagai
hakekat yang tak berwujud (Nirguna Brahma).[9]
Awalnya ajaran-ajaran dari agama Kaharingan
memang tidak dikembangan untuk dituangkan dalam kitab suci, melainkan tersebar
melalui tradisi bertutur yang disampaikan tetuha adat atau mereka yang
memang dianggap memiliki kemampuan untuk hal itu.(Parada L. KDR. S.Ag. M.Si)
Kepercayaan kepada Tuhan merupakan dasar. Kepercayaan Hindhu
Kaharingan yang akan dilaksanakan setiap hari sebagai landasan untuk berbuat
didunia. Dalam kehidupan umat Hindhu kaharingan selalu tertanam dalam diri
masing-masing bahwa manusia wajib menyerahkan dirinya kepada Tuhan sebagai
sumber segala yang ada dan kembali kepada-Nya.
Adapun pokok keimanan dalam ajaran Hindhu
kaharingan disebut dengan ‘LIME SARAHEN” atau “LIMA DASAR KEYAKINAN” yang
diyakini oleh umat Hindhu Kaharingan yaitu:[10]
a. Ranying Hatalla Katamparan ikei.
b. Langit Katambuan ikei.
c. Petak tapajakan ikei.
d. Nyalung kapanduaian ikei.
e. Kalata padudukan ikei.
Kelima keyakinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
yaitu:
a. Ranying hatalla katamparan ikei, adalah suatu ajaran keimanan umat manusia bahwa Tuhan
(Ranying Hatalla) adalah penyebab segala sesuatu yang ada, sehingga patut untuk
dipercaya. Sesuai dengan keimanan manusia kepada Tuhan untuk dipuja sesuai
dengan sabda sucinya yang tertulis dalam kitab suci Hindhu Kaharingan yaitu
“Panaturan”.
b. Langit katambuan ikei, adalah suatu keyakinan manusia bahwa langit berada
diatas tempat kehidupan umat manusia (Batang Danum Injam tingang rundung Nasih
Napui Burung) yang mana manusia berperasaan luas dalam bumi ini untuk melakukan
berbagai aktivitas atau kegiatan yang sesuai dengan ajaran agama.
c. Petak Tapajakan Ikei, suatu keimanan manusia bahwa dialam semesta ini manusia
bebas atau leluasa untuk berbuat sehingga amal dan bhakti seseorang hanya bisa
didapatkan didunia ini dan karma seseorang dapat hanya didunia ini. Dengan
begitu manusia dengan sebaik-baiknya memanfaatkan hidup didunia ini untuk
belajar beramal dan berbhakti kepada Tuhan (Ranying Hatalla).
d. Nyalung Kapanduian Ikei, adalah suatu diantara ciptaan (Ranying Hatalla)
untuk dipergunakan oeleh manusia sebagai pembersih segala kotoran kehidupan
umat manusia, artinya kotoran tersebut dapat dihapus hanya melalui beribadah
yang diikuti oleh pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak melanggar ajaran
Hindu Kaharingan, sehingga manusia itu kembalinya nanti semoga dalam keadaan
suci dan dapat kembali kepada Tuhan.
e. Kalata Padadukan Ikei, adalah suatu ajaran kepada manusia bahwa hanya
didunia ini manusia untuk melakukan berbagai kegiatan, artinya didunia ini
sebagai tempat sementara (Batang Danum Injam Tingang Nasih Napui Burung) bagi
manusia.
Dari kelima keyakinan Umat Hindu Kaharingan
patut untuk berbuat sesuain dengan konsep keyakinan yang menjadi dasar keimanan,
sehingga setiap langkah dan perbuatan itu atas dasar keyakinan. Kepercayaan itu
umat Hindu Kaharingan dapatkan hanya satu dalam alam semasa hidupnya di (Batang
Danum Injam Tingang Rundung Nasih Napui Burung) dunia yang hanya sementara ini
untuk berbhakti sehingga tercapai karma pahala yang baik. Sehingga kelak jika
sampai saatnya nanti akan kembali saatnya nanti akan kembali kepada Tuhan dalam
keadaan suci di Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan atau tempat kehidupan
yang selama-lamanya (abadi) tanpa kekurangan apapun dan menyatu dengan Ranying
Hatalla.[11]
Ranying Hatalla adalah sumber dan penyebab segala yang
ada didunia, yang berdasarkan sabda Ranying Hatalla yang tercantum dalam kitab
suci “Panaturan” Pasal 1 ayat 3.
Oleh sebab itu wajib
hukumnya bagi umat manusia untuk memuja-Nya agar mendapatkan karunia dan hidup
damai sejahterabaik didunia maupun diakhiratnya. Manusia dengan berbagai cara
dalam memuja tuhan untuk memohon perlindungan dan kedamaian lahir dan batin.
Yang dilakukan dengan berbagai upacara sesuai dengan tujuan bermohon kepada Ranying Hatalla dengan
manifestasi-Nya.
5. Kitab Suci Hindu Kaharingan
Panaturan merupakan kitab suci yang dipercayai
agama Hindu Kaharingan. Panaturan berasal dari bahasa Sangiang yaitu “Naturan’
yang artinya menuturkan atau menselisihkan yang kemudian mendapat awalan Pa
sehingga menjadi kata “PANATURAN”[12]
yang berarti kitab suci yang menuturkan atau menselisihkan tentang proses
penciptaan alam semesta beserta isinya, para Malaikat atau Dewa serta fungsinya
bagi umat manusia, tata aturan kehidupan manusia serta tata cara ritual umat
Hindu Kaharingan.[13]
Panaturan adalah memuat tentang pokok-pokok
ajaran ritual, norma-norma yang diwahyukan atau difirmankan oleh Tuhan YME yang
oleh umat Hindu Kaharingan disebut dengan “Ranying Hatalla Langit Tuhan
Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau Jatha Balawang Bulau
Kanaruhan Bapager Hintan”.
Kitab suci panaturan memuat tenang firman atau
wahyu Ranying Hatalla Langit ini sangat diyakini oleh umat Hindu Kaharingan
yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Dan diyakini sebagi pedoman hidup bagi
pemeluk Agama Hindu Kaharingan yang merupakan sumber ajaran tantang ketuhanan,
bimbingan dan tauladan yang sangat diperlukan didalam menjalankan kehidupan.
Ajaran dalam Kitab Suci Kaharingan tidak hanya terbatas sebagai tuntutan hidup
individual, melainkan juga sebagai tuntutan untuk hidup bermasyarakat seperti
yang tertuang dalam Kitab Suci Panaturan
pasal 41 ayat 44. Dan kitab Panaturan ini memuat 63 pasal dan terdiri
dari 2951 ayat.[14]
Sejarah Kitab Suci Panaturan, fakta menegnai
keberadaan Kaharingan dapat dilihat dari ribuan tahun yang lalu dan dapat
digali sejak diadakan Rapat Besar Damai Tumbang Anoi yang diprakarsai oleh
seorang Kaharingan yaitu Damang Batu pada Tahun 1894. Dilihat dari sejarah,
perkembangan dari peradaban sejarah suku Dayak maka dapat dibagi menjadi:[15]
1) Zaman Sang “Eng” atau Zaman Sangen, yang sama dengan “Apa” yaitu zaman yang
tidak banyak diketahui, yang melukiskan tentang ajaran atau wahyu yang paling
tua dan sulit untuk diketahui yang melukiskan ajaran atau wahyu yang terdapat
di dalam Kitab Suci Panaturan yang merupakan ajaran pokok.
2) Zaman Sang Hiang (Sangiang), menunjukkan tentang zamannya nenek
moyang/dalam bahasa Dayak dikenal dengan Tatu Hiang, ditandai dengan corak
perkembangan bahasa menjadi Bahasa Sangiang, yang kini menjadi bahasa induk
bahasa Dayak Ngaju.
3) Zaman Tetek Tatum, ditandai dengan corak bahsa yang melukiskan tentang
legenda seperti Tambun Bungai, Damang Batu yang kemdian diambil sebagi symbol
kepahlawanan.
4) Zaman Sansana Bandar, ditandai dengan sansana Bandar yang melukiskan
tentang generasi tua dalam membina, membimbing generassi muda.
Proses Panaturan menjadi kitab suci sangatlah
panjang, dapat dilihat dari perjuangan tokoh-tokoh Kaharingan yang dimulai
pembentukan organisasi pertama Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) yang
menyatakan Kaharingan sebagai Agama. Proses tururnnya wahyu dari Ranying
Hatalla Langit melalui Bawi Ayah kepada keturunan Raja Bunu di Pantai Danum
Kalunen, memakai Palangka Bulau turun dibukit Samatuan. Kemudian para Sangiang
menyisir sungai Kahean tiba di Lewu Tutuk Juking tempat mereka menagajar
keturunan Raja Bunu di dunia dan wahyu tersebut diturnkan kepada Basir,
Pahanreran/Handepang Telun dan para Pisur.[16]
6. Upacara Mangubur
a. Pengertian
Upacara Mangabur berasal dari kata upacara dan mangubur. Upacara yang
dimaksudkan disini harus dibedakan dengan kata upacara sebagaimana lazimnya
dipakai di dalam bahasa Indonesia seperti dalam kata; Upacara bendera pada saat
peringatan Hari-hari Besar Nasional. Kata Upacara dalam yang dimaksudkan di
sini berasal dari kata “Upa” berarti dekat dan “acara” berarti Tradisi atau
kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok
masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Sedangkan
mengubur berasal dari kata “Kubur” yang berarti kuburan. Jadi, upacara mangubur
adalah upacara menanamkan jenazah ke liang kubur. Bagi umat Hindu Kaharingan
apabila seseorang meninggal dunia wajib diupacarakan sesuai tradisi setempat.
b. Cara-cara Mangubur
Di kalangan umat Hindu Kaharingan ada empat
cara mangubur yaitu:[17]
1) Dikubur yaitu mengubur jenazah dengan cara ditanam ke dalam tanah.
2) Dibakar yaitu mengubur jenazah dengan cara dibakar.
3) Digantung yaitu mengubur jenazah dengan cara digantung pada sebuah batang
pohon atau tiang khusus.
4) Tambak atau Pambak yaitu mengubur jenazah dengan cara disemayamkan pada
tempat khusus yang disebut Tambak atau Pambak.
c. Tata Cara Mangubur
Sebelum dikubur jenazah dirawat sebagaimana
halnya orang yang masih hidup. Ada beberapa 4 cara perawatan yaitu:
1) Memandikan Jenazah
Jenazah dimandikan dengan Air bersih, disabun, dikenakan
pakaian, rambut diminyak, disisir kemudian wajah dipupur. Pada saat mulai
menyirami di bagian kepala jenazah diiringi dengan mengucapkan:
“Tuh impanduiku ikau manampa danum ije
barasih, hapa menyau karedahiyang baya sial kawe pali endus, dosa kasalam umba
kula babuham, mangat ikau barasih buli ungkup babuhan tatu hiang” (Sekarang
kumandikan kamu dengan air yang bersih, untuk membersihkan segala kotoran, papa
dan hina salah dan dosamu terhadap kerabat keluargamu agar engkau menjadi suci
bersih kembali pulang menemui kerabat leluhurmu).
Kemudian diikuti dengan menyirami seluruh
anggota badan jenazah sampai merata dengan menggosokan sabun disekujur tubuh
jenazah dengan berulang-ulang sampai benar-benar bersih.
2) Mendandani Jenazah
Setelah acara memandikan jenazah selesai selanjutnya
jenazah dikenakan pakaian yang telah dipersiapkan, dengan lengkap dan didandani
dengan pupur dibagian wajah, bercermin, menyisir rambut serta diolesi minyak
hal ini dilakukan seperti seorang yang akan ditempatkan diatas bale-bale yang
telah disiapkan yang sebelumnya diberi tikar sebagai alas jenazah sedangkan
dibawah bale-bale diberi galangan dengan menggunakan dua buah gong pada bagian
ujung masing-masing.[18]
Posisi pada saat menempatkan jenazah diatas bale harus
memperhatikan orang yang meninggal tersebut apakah laki-laki atau wanita. Bila
yang meninggal laki-laki, maka posisi kepala berada di Barat, dan bila yang
meninggal wanita, maka posisi kepala berada di Timur, dengan tubuh tegak lurus
tangan berada disamping badan. Pada tangan sebelah kanan diberikan telor ayam
sebanyak satu butir dan sejumlah uang yang digenggamkan pada tangannya. Pada
kedua matanya ditutup dengan uang logam serta dibagian mulut diberi lamiang.
Kemudian jenazah ditaburi beras yang sudah diberikan warna merah dan kuning
yang dicampuri sirih, pinang dan rokok, selanjutnya pada bagian dadanya
ditutupi dengan mangkok kecil warna putih dan posisi telungkup. Diteruskan
dengan pemukulan gong (nitih) dengan jumlah pukulan sebanyak tujuh kali, dan
apabila wanita, maka gong dipukul sebanyak lima kali.
3) Membuat Peti Jenazah
Sebalum membuat peti jenazah, maka terlebih dahulu
jenazah diukur dengan menggunakan rotan, yang diikuti pemukulan gong sebanyak
tujuh kali bila yang meninggal laki-laki dan sebanyak lima kali bila wanita.
Ketika akan berangkat harus dilengkapi dengan alat-alat seperti: kampak
beliung, parang gergaji, piring sendok panci mangkok gelas dan beras untuk
masak.
Sebelum menebang kayu untuk pembuatan peti, maka terlebih
dahulu diadakan pemotongan ayam yang darahnya diambil untuk dicampurkan pada
beras yang nantinya digunakan untuk keperluan tawur pada batang kayu yang akan
ditebang dengan maksud agar batang kayu tersebut tidak membawa sial pada orang
dan roh halus penunggu kayu/hutan tidak mengganggu dalam pembuatan peti
jenazah. Setelah penebangan kayu selanjutnya dibuatlah peti tersebut di sekitar
tempat penebangan untuk kemudian peti itu dibawa kerumah tempat orang
meninggal. Sebelum peti dibawa masuk rumah terlebih dahulu dibunyikan gong yang
jumlah pukulannya disesuaikan dengan jenis kelamin orang yang telah meninggal.
Bila laki-laki sebanyak tujuh kali dan bila perempuan lima kali.
4) Memasukan Jenazah ke Dalam Raung (Peti Jenazah)
Setelah Raung (Peti Jenazah) sudah siap maka jenazah
dimasukan kedalam Raung. Memasukan jenazah ke dalam Raung melalui dua tahap
yaitu:
a) Menyaluh Raung
Ada 3 macam yang menjadi sarana dalam Manyaluh
Raung yaitu:[19]
·
Nyating (serbuk damar)
·
Tamiang (bambu jenis Tamiang)
·
Baliung (mata beliung)
Manyaluh Raung adalah mensucikan Raung secara spiritual
yaitu seorang Basir menyalakan bambu tamiang yang telah berisikan serbuk damar
lalu mengelilingi raung dengan jumlah putaran disesuaikan dengan jenis kelamin
yang meninggal dunia (bila laki-laki 7 kali putaran dan bila perempuan 4 kali
putaran) kemudian memukul-mukul raung dengan mata baliung seraya mengucapkan
mantra sebagai berikut:
“Manggandang-ngandangku bulau sambang raung,
dunia tungkup tanggang tingang tuh mangat mantap kasaburan dahiyang baya,
sial-kawe kayu ije akan bulau sambang raung tuh, kayu ije batuah hambit akan
liau haring kaharingan palus tarantang nule. Hayak nyaluh manyaherang bulau
sambang raung tuh menjadi banama bulau pahalendang tanjung uka haring
kaharingan anu.....tuh buli ungkup babuhae tatu hiyange umba Ranying Hatalla
Langit huang Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan Hakarangan Lamiang Belum
Dia Rumpang Tulang Kamalesu Uhat”.
Terjemahannya: “Kugendangkan peti jenazah ini supaya
mengusir pengaruh-pengaruh jahat yang ada pada kayu ini agar kayu ini membawa
rejeki bagi almarhum dan seluruh keluarga yang ditinggalkan. Hiduplah engkau
menjadi sebuah kapal layar bagi si....ini agar dia kembali pada kerabat dan leluhurnya
yang telah hidup bersama Tuhan Yang Maha Esa disorga loka”.
b) Memasukan jenazah ke dalam Raung
Setelah proses Manyaluh Raung sudah selesai maka dilanjutkan dengan
memasukan jenazah ke dalam raung diiringi dengan taburan beras tawur berwarna
merah dan kuning yang campur giling pinang rukun tarahan dengan mengucapkan
mantra sebagai berikut:
“Tuh behas bahandang bahenda, giling pinang,
rukun tarahan akam nyaluh arepmu jadi panatau panuhan liau haring kaharingan
uka iye jatun katapas kakurange, Kalute kea akan tarantang nule”.[20]
Terjemahannya: “Sekarang engkau beras berwarna
merah, kuning beserta giling pinang, rukun tarahan agar engkau menjadikan
dirimu segala kebutuhan dan kesejahteraan bagi almarhum agar tidak ada
kekurangan dan begitu juga bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan.
Selanjutnya raung ditutup dan dipaku disertai
bunyi Payung (gong bernada Payung). Raung dilukis dengan gambar hewan,
binatang, pohon, alat-alat musik tradisional, ikan dan lain-lain yang
warna-warni.[21]
7. Upacara Kematian
a. Tujuan Upacara kematian
Tujuan dari Upacara Kematian/Pitra yadnya
adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di
tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia.
Pitra yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu
yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah
meninggal yang ada di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjuta rasa bakti
seorang anak (sentana) kepada leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya
dipandang sangat penting, karena seorang anak (sentana) mempunyai hutang budi,
bahkan dapat dikatakan berhutang jiwa kepada Leluhur.
Dengan memperhatikan jasa-jasa orang tua
tersebut, maka seorang anak (sentara) berkewajiban melaksanakan Pitra Yadnya di
dalam hidupnya, yang berintikan rasa bakti yang tulus ikhlas demi untuk
pengabdian kepada orang tua dan leluhur, Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk
meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-roh leluhur yang telah meninggal sesuai
dengan tingkatan yadnya yang di selenggarakan. Jadi menurut agama Hindu
Kaharingan di desa Peda Embak Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan orang
yang masih hidup dapat juga turut berusaha mengangkat kedudukan Pitara, dari
tingkat rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa upacara yang
termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, Pengubran mayat, Memapui mayat.[22]
Setiap melaksanaka upacara atau ritual
keagamaan (proses untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa), selalu
disertai dengan penggunaan upakara (sarana yang dipakai sebagai media
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa), baik dalam wujud kecil, menengah maupun
besar, hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan upcara dan makna upakara dimaksud.
Terkait dengan penelitian ini yakni “Pelaksanaan
Upacara Kematian Dalam Ritual Keagamaan Hindu Kaharingan”, ada beberapa
pemikiran mendasar atau konsep dasar yang perlu dijelaskan yakni upacara
kematian dan Hindu Kaharingan. Tujuan upacara kematian dengan tatacara
pembakaran (mamafui Mayat) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya,
termasuk Upacara Mamafui Mayat adalah sebagai proses untuk mempercepat
pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya atau ke sumbernya
masing-masing. Upacara Mamafui Mayat
juga mempunyai makna sebagai membantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan
kembalinya unnsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk Sthula Sarina maka Atma
telah meningkatkan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam
Bhuwah Loka ini Atman masih berbadankan Sukma Sarina. Dengan demikian Upacara
Mamafui Mayat itu adalah upacara penyucian Pitara tahap pertama yaitu dengan
melepaskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta.[23]
Terkadang di tengah masyarakat terdapat pemahaman yang kurang
sesuai dengan sastra agama, mengenai hakekat dan tujuan dari Upacara Mamafui
Mayat tersebut. Sering pelaksanaan Mamafui mayat di interpretasi secara keliru,
yaitu untuk mencarikan tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan
roh leluhur menuju sorga, memerlukan bekal atau beya yag banyak dalam
bentuk banten yang besar. Dengan adanya interpretasi masyarakat seperti
ini , maka terutama masyarakat yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara
Mamafui Mayat dengan sarana banten yang besar agar roh para leluhurnya dapat
mencapai sorga.[24]
Jika dikembalikan kepada hakikat Mamafui mayat
secara filosopisnya, seperti diuraikan di atas, maka sebenarnya Upcara Mamafui
Mayat tidak bisa dikaitkan dengan pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah
sorga dan neraka adalah persoalan lain dari Upacara Mamafui Mayat sebab itu
ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu hidupnya (karma wasana)
seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan Agama Hindu menggariskan
bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa dikurangi, dan harus diterima
seutuhnya (Cudamani, 1998 dalam Atmadja, 2001: 142).
Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya
Hadiwijono dalam Atmadja (2001: 142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu
tidak menngenal ritual penebusan dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan
agama tertentu. Dosa seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan,
semasa hidupnya. Kalau orang sudah mati, maka yang bersangkutan akan membawa
karma pada perbuatannya di dunia (Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001: 143).
b. Tatacara Pelaksanaan Upacara Pembakaran Mayat (mamafui
mayat)
Bernard Raho SVD menyatakan “Fungsionalisme
struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan satu sama lain. Sunyoto Usman (2004: 63), mengartikan bahwa
dalam teori fungsionalisme struktural sistem sosial tidak hanya dilihat sebagai
keadaan yang ditandai oleh keseimmbangan, dan dari bagian-bagian sistem
tersebut saling ketergantungan satu sama lain. Tetapi juga sistem sosial
dianggap terdiri dari individu-idividu yang saling berhubungan.
Sehubungan dengan pendapat di atas,
Dahrendorf, (dalam Veenger, 1990: 213), menyatakan bahwa teori menekankan empat
hal: (1) Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur
yang relatif kuat dan mantap, (2) Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang
unsur-unsurnya terintegrasi satu sama lain dengan baik, (3) Tiap-tiap unsur
masyarakat mempunyai fungsinya dalam arti bahwa menyumbang kepada ketahanan dan
kelestarian sistem, dan (4) Tiap-tiap struktur sosial yang fungsional di alas
suatu kesesuian paham, antara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.[25]
Milinowski mengembangkan teori fungsi
unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplek . Tetapi inti dari teori adalah
pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Demikian pula Upacara kematian Pembakaran Mayat
adalah suatu bentuk tradisi dan
kebudayaan lokal yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk memuaskan kebutuhan
jasmani dan rohani masarakat di Desa Peda Embak kecamatan Katingan Hulu
Kabupaten Katingan, sehingga upacara ini benar-benar dirasakan sangat berfungsi
bagi masyarakat Hindu Kaharingan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulan bahwa teori Fungsional Strukturalisme yang menekankan pada
keteraturan (order) dan pengabaian konflik perubahan-perubahan masyarakat
menuju suatu keseimbangan. Perihal semacam ini juga sering dengan tujuan
berbagai upacara dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Desa Penda Embak
Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan untuk mencapai keseimbangan dalam
kehidupan di dunia ini. Untuk itu penggunaan teori Fungsional struktural ini
semata-mata terlihat struktur dan fungsi sosial dalam kelembagaan masyarakat
namun untuk mengetahui struktur segala Pelaksanaan Upacara Kematian Pembakaran
Mayat di desa Peda Embak Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan. Dalam
sebuah penelitian dalam kegiataan upacara keagamaan masyarakat Hindu Kaharingan
perlu adanya persiapan yang matang suaya
kegiatan tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan bagi pelaksana.
Upacara Kematian di desa Penda Embak masyarakat melakukan persiapan pembuatan
sarana dan prasrana yaitu mencari kayu bakar untuk pembakaran Mayat. Kayu bakar
yang dicari tidak sembarangan dipilih kayu yang bagus tidak lapuk dan kayu yang
keras. Dalam proses untuk membuat peti mayat masyarakat id desa Penda Embak
mencari kayu yang besar dan sudah tua umurnya dan tidak sembarangan kayu yaitu
yang digunakan kayu Jalatung. Kayu Jalatung digunakan sudah menjadi tradisi
dari nenek moyang jaman dulu sampai sekarang masih digunakan mencari kayu untuk
membuat peti mayat yang disebut Raling.
Adapun untuk pencari bahan kayu tersebut memakai sarana hewan kurban Babi
untuk memberikan sesajen kepada kayu yang akan digunakan pembuat peti menurut
kepercayaan masyarakay di desa Peda Embak bahwa kayu itu ada penunggunya dan
segala sesuatu tidak terjadi dan roh kayu tersebut biar kembali kepada orang
yang meninggal. Adapun kayu dipakai untuk pembuatan peti mayat adalah kayu
Jalatung, dengan adanya minta ijin dalam pemotongan kayu supaya tidak terjadi
hal hal yang buruk sehingga bisa dinetralisir dengan melaksanakan pemotongan
hewan korban tersebut.
Sesudah selesai mencari bahan kayu bakar dan
kayu untuk membuat Peti Raung masyarakat bergotong royong membuat peti mati.
Keluarga dibantu oleh sanak saudara memandikan mayat, pasang pakaian dan
memberikan tanda tunding didahi yang dibuat dari Jarenag tujuan
dari itu sebagai tanda bahwa dia sudah meninggal dunia. Sebagai kepercayaan
umat Hindu Kaharingan yang berada di desa Penda Embak Kalua tanda tersebut
belum diberikan dianggap belum sempurna dalam pelaksanaan pemandian mayat yang
sudah meninggal dan pada sore harinya mayat di masukkan dalam peti mayat.
Menurut Tocih dalam proses pembakaran mayat
untuk umat Hindu Kaharingan di desa Penda Embak harus mencari hari yang baik
yaitu Hari Ganjil dan bulan langit naik karena kehidupan yang meninggal
untuk kehidupan yang ditinggalkan supaya tidak mendapatkan sial. Menurut
kepercayaan masyarakat Hindu Kaharingan di desa Peda Embak kalau semua aturan
dilanggar maka akan terjadi tidak lama lagi manusia meninggal dunia lagi.[26]
Dalam proses upacara dalam rumah sebelum di laksanakan
pembakaran mayat ada acara habukung. Tujuan dari habukung adalah
untuk jipen atau pembantu untuk jipen orang yang meninggal.
Bukung dibuat dari kayu sesudah selesai acara bukung dilanjutkan menawur tiga
kali ditunjukan kepada arwah yang sudah meninggal bahwa acara sudah selesai
pembantu sudah ada.
c. Proses Pembakaran Mayat
Umat Hindu dan masyarakat di desa Penda Embak bergotong
royong menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembakaran
mayat di antaranya: 1. Daun Sawang 2. Ayam 3. Babi 4. Sipak Rokok 5. Daun
Pisang 6. Alu 7. Grong 8. Bumbu 9. Rotan 10. Baram. Semau sarana tersebut harus
ada dan tidak boleh dilupakan.
Proses pembakaran mayat menyiapkan tujuh daun
sawang tempat memberikan makanan kepada Roh yang sudah meninggal di dalam rumah
diletakkan di tengah pintu, daun bawang berisi nasi daging ayam/babi, Sipak
Rokok Penyau, untuk memberikan makanan di berikan tanda dengan memukul Gong 3
kali dengan memanggil nama Roh yang meninggal. Pemberangkatan mayat ketempat
pembakaran dengan prosesi yang dipimpin oleh pisor dengan mengayunkan mayat
kepintu 3 kali sudah selesai bukung ikut memikul mayat dengan jipen. Proses
pelaksanaan pembakaran mayat yang harus disiapkan antara lain Pantar/tiang ulin
untuk jalan pulang. Roh ke Lewuk Tatau. Sesudah pembakaran mayat (Hinau)
dengan sarana, ayam satu ekor, untuk menyaki dengan darah ayam, memapas dengan
ayam dan daun sawang papas, turunkan gerantung untuk balai pali.[27]
Pembakaran Mayat yang dipimpin oleh seorang
pisur dengan berdoa memberitahu untuk roh pulang ke Hatala, badan
kembali ketanah, darah kembali air, rambut kembali ke uru, napas kembali ke
angina, tulang kembali ke kayu proses pembakaran yang menghidupkan Api adalah
keluarga yang meninggal. Sesudah selesai pembakaran mayat abu mayat diambil di
oleh keluarganya dengan menggunakan Katip yang dibuat dari batang bamboo,
dimasukan di dalam Kiyap, dalam pengambilan abu mayat diambil dari atas sampai
bawah. Tulang-tulang tersebut di bersihkan dengan minyak, Garu dibungkus dengan
kain putih, dimasukkan di dalam botol, dimasukkan dalam gong, tulang dimasukkan
dalam gong di bawa di simpan luar kampong, dilanjutkan dengan cara memasuk
pantar, tulang masuk kebalai pali. Acara Pantar tulang di simpan diatas Alu
dilanjutkan mendirikan Sangka Raya, Pandung Kayu, menurunkan Gong kebalai Pali
langsung menganjan Tujuh Kali.
Memasak Kenahi untuk di gunakan memberikan
makanan Roh yang jahat supaya tidak menggangu dalam upacara tersebut/Awin
tempat untuk memasak Kenahi dengan bamboo Lawas yang di sandarkan di pohon
Pinang yang sudah berbuah satu kali.
d. Prosesi Nyorat
Dalam prosesi upacara menyorat diantaranya
Tampurung kelapa dilubangi untuk memberikan makanan yang sudah meninggal di lanjutkan
pendirian Pantar bersamaan dengan yorat lokasi dengan sanding. Pendirian Pantar
bersamaan dengan nyorat dengan sarana (kue) wadai diikat pantar dengan
bersamaan dengan bongkar Sangka raya bersama dengan Beliung Budia Ayam
Pantar, parang sunsungai, bersamaan dengan Bangkai sangakik pandai pandung Kayu
diikat jadi satu dengan pantar, karena Baram, minum Papas, Agung dibawa untuk
menganjan tuju Kili minum baram pali setelah di bakab setelah pangkai tulang
masuk mengantar mayat dilingkungan keluarga.[28]
8.
Upacara Tiwah
a.
Pengertian
Upacara Tiwah merupakan upacara kematian agama
Hindhu Kaharingan yang dilakukan untuk memimpin liau(arwah) di
dalam perjalanananya menuju lewu liau(tempat peristirahatan/surga).
Lewu liau adalah tempat jiwa dipersatukan dengan moyangnya, dan untuk
kedua kalinya memakamkan tulang-tulang orang yang sudah meninggal di tempat
peristirahatan tetap yang disebut sandung.[29]
Sandung berfungsi untuk menyimpan
tulang-tulang orang yang sudah meninggal. Masing-masing keluarga harus
mempunyai sanding yang diletakkan di depan rumah guna menyimpan tulang-tulang
keluarga yang sudah meninggal. Dan dalam satu sandung dapat memuat
beratus-ratus tulang orang yang meninggal (Parada, L. KDR. S.Ag. M.Si selaku
Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya).
Upacara Tiwah adalah upacara kematian kedua,
karena sebelum dilaksanakan Tiwah, ada upacara kematian yang pertama dengan
memimpin liaw menuju tempat
peristirahatan sementara yaitu dibukit pasahan raung. Pasahan raung adalah
tempat pemondokan sementara peti mayat orang yang mati dan biasanya dibuat di
hutan yang jauh dari perkampungan.[30]
Agama Kaharingan
percaya setiap manusia diciptakan atau dilahirkan dari tiga unsur, yaitu unsur
yang berasal dari Ranying Hattala Langit, ayah dan ibu secara biologis.
Jika salah satu dari ketiga unsur tidak ada, maka kelahiran dianggap tidak
sempurna. Setalah manusia itu wafat, maka ketiga unsur tadi diantar oleh Duhung
Maha Tandang[31] ke tempat yang
telah ditetapkan oleh Ranying Hattala Langit sejak awal.
Yang terjadi
dalam upacara Tiwahadalah jasad diambil dari kuburan, lalu dibersihkan dan
dimasukkan ke dalam sebuah kotak, yang disebut sandung dalam bahasa Dayak.
Sandung kemudian disimpan dan tidak boleh menyentuh tanah. [32]
Tiga tahapan pelaksanaan
upacara kematian menurut suku dayak:
1)
Penguburan,
menyerahkan arwah yang meninggal kepada kepada Raja Entai Nyahu yang
bertugas sebagai penjaga kuburan.
2)
Tantulak Ambun
Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas pali yaitu untuk
menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan
kematian.
3) Upacara Suci Tiwah
ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa dan roh manusia yang
telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpung
Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung
Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke
tujuh.
Upacara Suci Tiwah adalah upacara keagamaan, bukan
upacara adat yang secara umum dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Upacara
ini dapat dilaksanakan dengan syarat arwah-arwah yang ditiwahkan itu semasa
hidupnya harus beragama Kaharingan. Didalam pelaksanaannya, upacara suci
Tiwah diberikan tata adat dan tata cara khusus dengan hikmat dan bersih
sebagaimana telah diatur sejak dahulu kala dan sampai sekarang tetap diingat
dan dilaksanakan oleh umat Kaharingan. Nilai-nilai keagamaan, budaya
maupun sosial yang terkandung di dalamnya, menjadikan Upacara Suci Tiwah
sebagai upacara tertinggi dan beresiko tinggi bagi umat Kaharingan. Oleh
karena itu, pelaksanaan dan persiapan segala sesuatu harus dilakukan dengan
baik dan cermat, karena jika terjadi kekeliruan dalam pelaksanaannya, maka para
ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat. Sebagai contoh, jauh
dari rezeki di masa mendatang, kesehatan terganggu atau sakit-sakitan,
menanggung berbagai kutukan di masa mendatang.
Puncak acara upacara Tiwah adalah memasukkan
tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual
khusus ke dalam sanding. Yang sebelum itu dilakukan, terlebih dahulu digelar acara
penombakan hewan-hewan kurban, kerbau,sapi, dan babi. Makanan dan daging hewan kurban berguna untuk
menjamu para tamu dan membuat sesaji bagi roh leluhur dan roh-roh halus.[33]
b.
Tujuan Upacara Tiwah
Tujuan Upacara Suci Tiwah ialah
mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur Allah (Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini
tidak hanya diperuntukan bagi orang yang mati secara tidak wajar (dibunuh,
tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut agama Kaharingan yang meninggal.
Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak menyelenggarakan upacara suci
Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan hidup dengan kesialan atau hidup di
ddalam hukum karma (pali). Contohnya, dalam pendidikan gagal dan
hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain itu arwah yang tidak
ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau raung dan akan
bergentayangan. Oleh karena itu, upacara suci Tiwah harus dilakukan agar arwah
orang yang sduah meninggal dapat mencapai surga atau disebut Lewu Tatau Dia
Rumpung Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau,
Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau. Ada beberapa
tujuan upacara Tiwah :
1)
Memanggil
jiwa-jiwa dari peristirahatan sementara (sanding)
2)
Memandikan
jiwa-jiwa tersebut.
3)
Menyediakan
pakaian bagi jiwa-jiwa.
4)
Penyediaan
makanan bagi jiwa untuk bekal menuju Lewu Tatau.
5)
Memberikan
kesempatan bagi jiwa-jiwa tersebut untukmemberikan salam perpisahan dengan
kerabat yang masih hidup.
6)
Mengawal
jiwa-jiwa tersebut menuju dunia “makmur dan sejahtera” (Lewu Tatau).
7)
Menyatukan
jiwa-jiwa tersebut kembali bersama Ranyingdan Jata sebagai pencipta mereka.[34]
Tujuan Upacara Tiwah menurut (Handoko, 2005: 8) antara lain:
a) Untuk menyucikan membebaskan dan
menyempurnakan Roh Liau Karahang Tulang agar dapat menyatu dengan Ranying
Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa.
b) Untuk mengantarkan Roh Liau Haring Kaharingan menuju Lewu Tatau
Habaras Bulau habusung Hintan, Moksa, Sorga (alam Keabadian/kesempurnaan atau
alam kekuasaan Ranying Hatalla).
c) Untuk mewujudkan rasa bhakti dan
cinta kasih kepada leluhur (Pitra Yadnya).
c.
Pelaksanaan
Upacara Tiwah
Prosesi penyelenggaraan upacara Tiwah, mencakup
persiapan, pelaksanaan, dan penutupan upacara.
1) Persiapan
Persiapan dimulai dengan mendirikan balai.
Balai adalah satu bangunan berbentuk rumah. Pembangunan balai cukup dilakukan
dalam satu hari saja. Setelah balai selesai dibangun, pagi-pagi sekali berbagai
kelengkapan upacara Tiwah seperti, gong, gendang, kenong dan lain sebagainya
dibawa ke dalam balai, dan diletakkan di tempat yang sudah disediakan.
Pada hari berikutnya masyarakat mempersiapkan
beberapa bahan yang akan digunakan membuat sandung, sapundu, dan pantar.
Sandung adalah kotak kayu penyimpanan tulang-tulang yang sudah dibersihkan.
Sapundu adalah patung kayu. Pantar adalah tiang kayu dimana dibawahnya akan
diletakkan kurban kepala. Bahan yang digunakan adalah kayu Bulit’n (kayu ulin)
yang ditebang dari hutan. Kayu ini sangat keras dan tahan terhadap anai-anai. Selain
mempersiapkan balai dan kayu ulin, persiapan lain adalah berbelanja bahan
konsumsi, menumbuk padi, membuat minuman (tuak) dan sebagainya.[35]
Persiapan sebelum upacara Tiwah antara lain:[36]
a)
Pertemuan
keluarga (rapat singkat) membentuk panita pelaksanaan Upacara Tiwah.
b)
Mendata
jumlah keluarga yang ikut serta dalam penyelenggaraan Upacara Tiwah.
c)
Menentukan
jumlah peti jenazah yang akan ditiwahkan.
d)
Membuat
rancangan anggaran biaya UpacaraTiwah.
e)
Mempunduk
sambur Tiwah.
f)
Menentukan
waktu dan tempat pelaksanaaanUpacara Tiwah (jadwal Upacara).
g)
Menentukan
orang tukang Hantreran (Pisor) yang akan memimpin Upacara Tiwah.
2) Pelaksanaan
Tahap
Pelaksanaan Upacara Tiwah menurut DAS Katingan (Handoko, 2005:5) yaitu:
a)
Mendirikan
Balai Pali/Balai Nyahu.
b)
Muluh
Gandang (membunyikan gendang garantung).
c)
Mendirikan
Sangka Raya Pasar Sabahulu, Sandung Kayu dan Sapundu.
d)
Menggali
tulang yang ditiwahkan.
Pada hari pertama dilakukan upacara Tumpah
Tua’ Nyemoleh Manhu’ Bebuag’ng Tentuna, yaitu upacara menumpahkan tuak dan
memotong ayam untuk diambil darahnya. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa kepada
Sanghyang dipucu’ duwata dibabah, yaitu doa kepada Sanghyang (Tuhan) di atas,
dewata yang di bawah yang melaksanakan. Pada hari ini juga manter akan
memberikan Unuk, yaitu ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu, kepada
keluarga yang melakukan upacara Tiwah. Unuk ini berfungsi membedakan tamu
undangan dari keluarga yang sedang menyelenggarakan upacara tiwah.[37]
Hari kedua adalah upacara Nyawat Sanhug’ng,
yaitu upacara membuat sandung untuk kotak kayu penyimpanan tulang-tulang yang
sudah dibersihkan. Sandung ini bentuknya seperti rumah tapi berukuran sangat
kecil seperti sangkar burung, dan biasanya diletakkan di samping rumah induk.
Hari ketiga adalah upacara Mengawi Sepunhu
agat’n Pantar, artinya membuat sapundu dan pantar. Sapundu[38]
adalah patung yang terbuat dari kayu ulin berukir digunakan untuk mengikat
hewan kurban pada saat upacara Tiwah. Sapundu yang dibuat berjumlah dua patung
dan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sedangkan pantar adalah tiang
tinggi terbuat dari kayu ulin yang ditanam di tanah, dan di bawahnya ditanam
kepala kurban. Pada jaman dahulu yang ditanam adalah kepala manusia yang
dijadikan kurban, tetapi kini diganti dengan kepala hewan.
Hari keempat dilaksanakan upacara Meruwat
agat’n Kasa’i Minyak, yaitu merawat dan meminyaki tulang. Kegiatannya adalah
membongkar mayat dari tempat semula dikuburkan, untuk diambil tulang-tulangnya.
Tulang-tulang tersebut harus dicuci sampai bersih menggunakan air sabun,
kemudian diolesi minyak kelapa yang dicampur kunyit. Upacara Meruwat agat’n
Kasa’i Minyak ini melambangkan pengabdian keluarga yang masih hidup kepada
orang yang sudah meninggal tersebut. Semua tulang-tulang yang telah dibersihkan
dan diolesi minyak, dimasukkan ke dalam tempayan atau guci yang sudah diberi
lubang pada dasarnya. Lubang pada dasar tempayan atau guci berfungsi untuk
merembeskan air, supaya tulang tidak terendam air yang tertampung di tempayan
atau guci. Kemudian tempayan atau guci dimasukan ke dalam sandung. [39]
Hari kelima dilanjutkan dengan upacara
Melomang, yaitu memasak beras ketan yang telah direndam terlebih dahulu,
kemudian dibungkus dengan daun pisang. Bungkusan daun pisang tersebut dibentuk
bulat panjang, dan dimasukan ke dalam ruas bambu yang sudah disediakan. Acara
selanjutnya adalah Menyawat Reranca’an, yaitu acara menempatkan sesaji. Sesaji
terdiri dari ketan hitam, ketan putih, kue cucur, telur rebus satu butir yang
telah dibelah menjadi dua bagian, ayam panggang satu ekor, kapur, sirih, pinang
dan rokok. Setelah acara Menyawat Reranca’an selesai, pada hari itu juga
dipersiapkan hewan kurban yaitu, tiga ekor ayam dan tiga ekor babi.
Hari keenam dilaksanakan upacara inti, yaitu
Labuh Bosar. Acara pada hari ini adalah mendirikan jarau pemali, melepas unuk,
makan brata, nganjan, dan beigal. Yang dimaksudkan dengan mendirikan jarau
pemali adalah mendirikan tempat penampungan sumbangan. Melepas unuk adalah
melepas ikat kepala yang telah dipakai selama prosesi upacara Tiwah berlangsung
sedangkan makan brata adalah upacara makan makanan khusus bagi keluarga
penyelenggara Tiwah. Makanan khusus itu berupa ketan hitam, ketan merah, ayam
panggang dan tuak. Nganjan adalah menarikan tarian Tiwah, tarian khusus untuk
upacara Tiwah. Menarikan tarian ini harus mengenakan pakaian khusus Tiwah.
Terakhir adalah beigal, yaitu menarikan tarian yang melambangkan kegembiraan
dan sukacita karena telah melaksanakan upacara Tiwah sampai selesai.[40]
3) Akhir Upacara Tiwah
Akhir upacara tiwah akan dilaksanakan Upacara Melorak Panhug’ng, Lumpag’ng
Mati Lumpag’ng Hidup dan Menyorahan Kait’n Peigal, yaitu :
a. Melorak Panhug’ng adalah acara pembubaran panitia upacara tiwah.
b. Lumpag’ng Mati Lumpag’ng Hidup adalah upacara peralihan dari situasi
berduka karena ada keluarga yang meninggal, ke situasi sukacita atau bahagia
karena telah melaksanakan upacara Tiwah sampai selesai. Acara ini ditandai
dengan Menyorahan Kait’n Peigal, atau menyerahkan kain peigal. Kain peigal
adalah kain yang dipakai dan digunakan dalam tarian kegembiraan.
Jika dalam prosesi penutupan upacara Tiwah tuak masih belum habis, upacara
penutupan ini diperpanjang sampai beberapa hari hingga tuak habis.[41]
9)
Hari-Hari Besar Hindu Kaharingan
Hari-hari besar agama Hindu Kaharingan adalah sama dengan agama
Hindu yaitu “Hari Raya Nyepi”. Tetapi ada beberapa daerah seperti Gunung Mas,
khususnya masyarakat Dayak dulu yaitu hari raya Bulan Lime, Hari-haring Kaharingan. Biasanya
pada setiap bulan lima, karena bulan Pahareman, istilah orang tua dulu yaitu
mencari bulan baik (saat bulan naik) baru dilaksanakan hari raya. Tetapi yang
biasa dilakukan adalah hari raya Nyepi, karena salah satu agama yang di SK kan
pemerintah adalah Hindu Kaharingan. Yang dinamai Majelis Besar Agama hindu
Kaharingan, yang pusatnya di Palangkaraya. Dan sudah di SK kan lewat SKH 37
tahun 1980. Dan untuk hari raya biasanya merujuk pada ritual penting agama
kaharingan yaitu Upacara Tiwah dan Basarah.[42]
Kemudian untuk
ibadah, mereka biasanya beribadah setiap hari Kamis malam (malam Jum’at),
biasanya diisi dengan acara-acara doa, kidung-kidung, daan persembahan. Yang
dilakukan di Balai Basarah.
C. PENUTUP
Hindhu Kaharingan adalah agama yang dipercayai
oleh sebagian masyarakat Kalimantan. Kaharingan
dapat juga diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla
Langit. Yang memiliki konsep-konsep kepercayaan dan religi dalam Hindhu
Kaharingan seperti:
1. Hindu Kaharingan merupakan pengintegrasian antara agama Kaharingan
dengan Hindu pada tahun 1980 an.
2. Ranying Hatalla Langit adalah sumber penciptaan dan semua hidup. Atau
menurut kepercayaan umat Hindu Kaharingan diakui sebagai Tuhan mereka.
3. Allah adalah Tuhan yang berdaulat atas alam semesta.
4. Terdapat beberapa dewa sebagai perantara antar manusia dan Allah.
5. Tempat tinggal Allah berada pada Dunia Atas (Ranying) dan Dunia Bawah
(Jata).
6. Simbolisme Ranying dan Jata adalah berupa Tingang (Enggang) dan Tambun
(Naga).
7. Panaturan yang dipercayai sebagai Kitab Suci Hindhu Kaharingan.
8. Adanya kehidupan setelah kematian.
9. Perjalanan ke Lewu Tatau (Dunia Makmur dan Sejahtera) bagi Jiwa setelah
meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko, WIDYA KATAMBUNG (Jurnal Filsafat
Agama Hindu) Pelaksanaan Upacara Kematian Umat hindhu Kaharingan di Desa penda
Embak Kecamatan katingan Hulu Kabupaten Katingan, 2015. STAHN-TP.
Palangkaraya. CV. Bintang Timur.
Handoko,Tampung
Penyang (Jurnal Agama Hindu) Volume
II, Studi Tentang Ritual Tiwah Agama Hindu Kaharingan di Kabupaten Katingan.
2005. Sekolah Tinggi Agama Hindu
negeri Tampung Penyang Palangkaraya.
Kencong, dkk, Implementasi Ajaran Agama
Hindhu Kaharingn di Kalimantan Tengah, 2007. Palangkaraya. Sekolah Tinggi
Agama Hindu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP).
Lewis KDR, BBA, Bahan Ajar Theologi Hindu
Kaharingan I, 2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung
penyang (STAHN-TP).
Pnyang Simang, dkk, Bahan Ajar(Panaturan I),
2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung
Penyang(STAHN-TP).
Djunas Unget, dkk, Bahan Ajar Acara Agama
Hindhu Kaharingan I, 2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri
Tampung Penyang(STAHN-TP).
Djunas Unget, Bahan Ajar Acara Agama Hindu
Kaharingan I, 2005. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung
Penyang (STAHN-TP).
Journal_Aspek_Budaya_Sosial_dan_Ekonomi_dari_Tiwah/(UpacaraMasyarakatDayakTomunLamandau),pdf.
Diakses pada tanggal 13 Oktober 2016 pukul 10.32.
http://1073zb3xfs20yv98x228do7r.wpengine.netdna-cdn.com/wp-content/uploads/2015/03/NOLAN-Brooke2.pdf. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2016 pukul 11.27.
lib.ui.ac.id>file>130312D00631_Kaharingan_Dinamika_Analisis.pdf.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 11.30.
http://learn-indo.weebly.com/uploads/2/4/4/8/24489018/tiwah_-_indonesian.pdf. Diakses pada tanggal 14 November 2016 pukul
18. 30.
http://arsitektur-lalu.com/wp-content/uploads/2014/01/Permukiman-Suku-Dayak-Ngaju.pdf. Diakses pada tanggal 21 November 2016 pukul
19.39.
www.wacana.co>2014/02>Kaharingan_Agama_Leluhur_Orang_Dayak. Diakses pada tanggal 21 November 2016 pukul
19.40.
Wawancara dengan Parada L. KDR. (Tokoh Agama Hindu Kaharingan).
Palangkaraya. Pada Tanggal 29 Desember_2016.Pukul_19.40.
[6] Yohanes
Salihah adalah seorang perawat, beragama Kristen dan pegawai di rumah sakit
missi di Kuala Kapuas (Barimba) tepatnya pada masa penjajahan. Dan pada zaman
penjajahan Jepang kembali beragama Kaharingan dan menjadi imam Kaharingan.
Kemudian pada tahun 1950 beliau diangkat sebagai Damang kepala Adat di
mandomai. Dan pada tahun 1972 ia ditunjuk oleh pemerintah RI sebagai penasehat
dalam hal hukum adat kerena pengetahuan agamanya dan hukum.
[7]http://1073zb3xfs20yv98x228do7r.wpengine.netdna-cdn.com/wp-
content/uploads/2015/03/NOLAN-Brooke2.pdf.
[8]
Lewis KDR, BBA,
Bahan Ajar Theologi Hindu Kaharingan I, Sekolah Tinggi Agama Hindu
Negeri Tampung penyang (STAHN-TP) PALANGKARAYA. 2003, Hal. 27-28
[10]
Kencong, dkk,
Implementasi Ajaran Agama Hindhu Kaharingn di Kalimantan Tengah, Sekolah
Tinggi Agama Hindhu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP.Palangkaraya. 2007. Hlm.
18.
[12]
Kitab Suci Panaturan sebagaimana kitab Suci Al-Qur’an
ayat-ayatnya diturunkan secara berangsur-angsur. Sebenarnya pada dasarnya
ayat-ayat pada kitab Panaturan diturunkan secara langsung, akan tetapi ketika
keturunan Raja Bunu (manusia pertama), yang diturunkan melalui beras kehabisan
berasnya beras diturunkan sebanyak tujuh iju sambang garantum hanya pintu
jinjingan atau tujuh buah gong. Beras ditutrunkan kepada manusia tidak hanya bisa dimakan
melainkan dapat digunakan untuk mengundang berhubungan dengan Tuhan, yang
berisi ayat-ayat suci. Dan yang ada dalam kitab suci Panaturan hanya sebagian
kecil.
[17] Berdasarkan wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan
di Palangkaraya (Parada, L. KDR S.Ag.
M.Si) tanggal 29 Desember 2016, bahwa ke- 4 cara-cara mengubur tersebut
semuanya biasa dilaksanakan, akan tetapi tergantung dengan adat kebiasaan warga,
keluarga, atau suku setempat. Atau bisa juga berdasarkan wasiat orang yang akan
meninggal0
[18] Unget Djunas, Bahan Ajar Acara Agama Hindu
Kaharingan I, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP)
palangkaraya 2005, Hal. 99.
[21] Ibid, hlm.
105.
[31]
Duhung mamatandang: Roh
halus yang bertugas mengantar roh yang telah meninggal dalam acara Tantulak dan
upacara suci Tiwah yang mana dalam acara Tantulak roh tersebut diantar sampai
Bukit Nalian Lanting Lewu Rundung Kereng Naliwu Rahan, sedangkan dalam upacara
suci Tiwah roh-roh orang yang telah meninggal tersebut diantar ke Lewu Tatau
Dia Rumpang Tilang Isen Raja Kamalesu Uhat, dan menggunakan Banama Nyahu untuk
mengantar roh tersebut.
[33]Journal_Aspek_Budaya_Sosial_dan_Ekonomi_dari_Tiwah/(UpacaraMasyarakatDayakTomunLamandau),pdf.
Hlm. 176.
[38]
Berdasarkan wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya
(Parada L. KDR. S.Ag. M.Si) bahwa uniknya di Hindu Kaharingan ini adalah
misalnya hewan kurbannya laki-laki maka sapundunya perempuan, begitupun
sebaliknya jika hewan kurban/rohnya perempuan maka sapundunya laki-laki. Hal
ini sudah merupakan sebuah tradisi dan menjadi peratuaran.