Monday, February 20, 2017

hindu kaharingan



A.  PENDAHULUAN
Di Indonesia agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Yang dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu “Pancasila”, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Di Indonesia terdiri dari berbagai macam agama yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Diantaranya adalah agama Hindu, Budha, Kristen, Islam, Protestan, Konghuchu, dan juga Hindhu Kaharingan salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini.
Hindu Kaharingan agama yang berkembang khususnya di wilayah Kalimantan. Agama Hindhu kaharingan sebagai kepercayaan atau keyakinan asli suku dayak. Sebagai sebuah agama Hindu Kaharingan juga memiliki pedoman yang menjadi dasar yaitu Kitab Suci Panaturan yang menuturkan tentang proses penciptaan alam semesta beserta isinya oleh Ranying Hatalla Langit (yang di yakini sebagai Tuhan agama mereka).
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Pengertian Agama Hindu Kaharingan,  sejarah agama Hindu Kaharingan, Tuhan, pokok-pokok ajaran, kitab suci, dan beberapa upacara penting dalam Hindu Kaharingan (seperti upacara kematian dan upacara Tiwah) , dan hari-hari besar Hindu Kaharingan.

B. PEMBAHASAN
1.    Pengertian Agama Kaharingan
Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (Dayak kuno)[1] Haring yang berarti hidup. Kaharingan dapat juga diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit. Ranying, merupakan nama yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak. Dalam keyakinan Dayak Ngaju, Agama Kaharingan telah ada semenjak awal penciptaan, yaitu saat Ranying Hatalla Langit menciptakan semesta.[2] Agama Kaharingan sering dilambangkan dengan Batang Haring atau Batang Garing yang berarti Pohon Kehidupan. Pohon Kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sebuah triangulasi (hubungan antara ketiganya).
Pohon Batang Haring dengan Balanga atau Kataladah (guci/pot/wadah) itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan. Dunia atas dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah yang dilambangkan melalui guci. Sementara buah yang terdapat pada Batang Haring itu melambangkan kelompok besar dari umat manusia. Buah Batang Haring yang menghadap arah atas dan bawah adalah pengingat bagi manusia agar senantiasa menghargai dua sisi yang berbeda dengan seimbang.
Tempat bertumpu Batang Haring dinamakan Pulau Batu Nindan Tarung. Pulau tempat kediaman manusia pertama kali sebelum diturunkan ke bumi. Di bagian puncaknya terdapat burung enggang dan matahari yang merupakan lambang-lambang dari Ranying Hatalla Langit, sumber segala kehidupan. Dengan demikian manusia diingatkan bahwa dunia yang sekarang ini adalah tempat tinggal sementara karena tempat asal manusia yang sebenarnya berada di dunia atas, Lawu Tatau.[3]
Kata kaharingan berasal dari bahasa Dayak Ngaju yang muncul dan dipakai dalam upacara keagamaan. Dalam bahasa sangiang yang berasal dari ritual para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, kata kaharingan berarti ‘hidup atau kehidupan” Contoh pemakaian kata “ kaharingan “ dalam bahasa sangiang:
1.    Liau haring Kaharingan (Roh Manusia Yang Suadah Meninggal dunia).
2.    Nyalung Kaharingan Belom(Air Kehidupan /menghidupkan)
3.    Intan Kaharingan (Cahaya Kehidupan)
4.    Lelak Intan Kaharingan (Pancaran Cahaya Kehidupan)
5.    Tasik Kaharingan Belom (Laut Kehidupan Yang Hidup)
Dalam bahasa Dayak Ngaju sehari-hari arti kata “kaharingan” adalah hidup atau ada dengan sendirinya. Hubungan dengan arti kata ada dengan sendirinya, bahwa kaharingan adalahh semacam plasma nutfah yang ditinggalkan oleh para leluhur.[4]
2.    Sejarah Agama Hindhu Kaharingan
Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.agama leluhur masyarakat dayak ngaju, yang telah ada sejak dua manusia laki-laki dan perempuan pertama diciptakan, yaitu Menyamai Tunggal Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau janjulen Karangan Kamasan Tombon (Panaturan 1973 dan 1996). Menurut mereka kaharingan telah ada sebelum datangnya Hindu, Budha, Islam dan Kristen. [5]
Mengenai mengapa agama Kaharingan menggunakan kata “Hindu”. Menurut (Parada L. KDR. S.Ag. M.Si selaku Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya) bahwa Kaharingan tidak mendapat tempat alias tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini telah lebih dari 68 tahun meredeka, Pemerintah Indonesia belum dapat memberikan pengakuan resmi terhadap Kaharingan sebagai “agama”. Pada Tahun 1980-an para penganut Kaharingan  berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemerintah Indonesia pada masa itu mewajibkan penduduknya untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Integrasi disini yang dimaksud bukan berarti Kaharingan pindah ke agama Hindu, melainkan penggabungan. Karena seluruh ajaran yang ada di Kaharingan diakui sebagai ajaran agama Hindu. Dan menurut beliau bahwa mereka mengakui bahwa Agama Hindu tertua adalah Hindu Kaharingan, mengingat kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Tokoh integrasi antara agama Kaharingan dengan Hindu adalah Lewis KDR selaku ketua Majelis Besar Agama hindu Kaharingan (MBAHK) yang diberi gelar “I Puttu Jata Mantra”. Dan kemudian setelah itu mulai berkembanglang Kaharingan ini, mulai adanya Sekolah Tinggi,PNS. Yang sebelum pengintegrasian itu semuanya belum ada.
Secara terminology “ Kaharingan diartikan sebagai nama agama yang bpertamakali muncul pada 17 April 1944, dalam tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan  (Riwut 1944). Pada tahun 1945 saat japing berkuasa dalam tulisannya Beberapa Keterangan Tentang Dajak, beliau dengan jelas memakai istilah “ Agama Dajak Kaharingan”. Dan sekitar pertengahan tahun 1945 pemerintah militer Banjarmasin ingin mengetahui kejelasan nama dari agama tersebut, karena sepengetahuan mereka orang-orang dayak tidak hanya beragama islam dan Kristen saja melainkan ada yang menganut agama tersendiri. Yang oleh mereka dinamai sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helu”. Dipanggil lah dua orang dayak  ngaju yang bernama Yohanes Shalihah[6] dan W.A. Samat. Sahalihah spontan menjelaskan bahwa nama gama orang Dayak adalah “Kaharingan” yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Sejak itulah kemudia Kaharingan diadopsi oleh pemerintah militer Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut agama yang dianut oleh orang dayak.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, Departemen Agama menetapkan bahwa setiap agama harus memenuhi persyaratan berikut: agama wajib berasaskan pada “ketuhanan” serta Kitab Suci atau sejenis naskah suci; suatu gedung khusus untuk pelayanan ibadah harus didirikan; dan agama resmi wajib mengakui beberapa hari keagamaan tahunan. Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) kemudian memasukkan sejumlah penyesuaian di dalam Kaharingan agar dapat memenuhi segala syarat Departemen Agama. Tuhan Yang Maha Kuasa Kaharingan, yang menciptakan serta melengkapi dunia dan alam semesta, diberikan nama ‘Ranying Hatalla Langit Jatha Balawang Bulau’. Buku ‘Panaturan. Tamparan Taluh Handiai’ yang artinya ‘Asal Muasal. Sumber Dari Semua Kehidupan’ menjadi kitab Suci Kaharingan. Dengan subsidi dari pemerintah Indonesia, gedung ‘Balai Basarah’ dibangun di Palangka Raya untuk pelayanan tetap umat Kaharingan. Kemudian, untuk memenuhi syarat keempat, tiga hari keagamaan ditetapkan MBAHK, yakni: Hari Pertanian, Hari Kebudayaan dan Hari Syukuran Umum. Tidak cukup hanya mengatur pembentukan serta perkembangan melalui keempat syarat tersebut pembentukan serta perkembangan agama Hindu Kaharingan melalui keempat syarat tersebut, pemerintah juga menyusun daftar peraturan mengenai pelaksanaan upacara kematian Tiwah.[7]
3.    Tuhan Agama Hindu Kaharingan
Dalam kamus yang berjudul An English Readers Dictionary oleh A.S.Hornby, Theologi diartikan sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Tuhan, alam semesta, tentang keyakinan agama yang mendasar. Berdasarkan pengertian diatas, Theologi Hindu Keharingan mengandung pengertian yaitu Ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan alam semesta berdasarkan keyakinan agama Hindu Kaharingan yang mendasar. Keesaan Tuhan tertuang dalam Kitab Panaturan yaitu:
Pasal 1 Ayat 2: Ie ije tamparan taluh handiai mukei kahain kuasai, Jai panapatuk sukup simpan murei japa jimat tanteng, hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit, homboh malentar kilat basiwing hawun, palus ambun ije dia bajahuntun tanduk enun basansinep isen baterus kening, badandang manjadi balawa hayak barasih, lenda-lendang, linge-lingei, hayak le hamauh mananggare arepe: AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balai Bulau Napatah Hintan, Balai Hintang Napatah Bulau marung laut bapantan Hintan.
Artinya: ”Ia adalah awal segala kejadian memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya Ia Yang Maha Sempurna; menyatakan keagungan dan kemuliaan-Nya, dan bersama dengan itu bergetarlah alam semesta laksana guntur menggelegar langit,petir dan halilintar menggetar semesta alam. Maka memancarlah cahaya terang yang bersih suci, menghalau kegelapan alam, serta Ia yang awal segala k.ejadian, berfirman dan menyatakan diri-Nya: AKU INILAH RANYING HATALLA yang bertahta pada BALAI BULAU NAPATAH HINTAN BALAI HINTAN NAPATAH BULAU, dikelilingi TASIK MALAMBUNG BULAU, LAUT BAPANTAN HINTAN.”
Pasal 1 Ayat 3: AKU TUH RANYING HATALLA ije paling kuasa, tamparan taluh hindiai tuntang kahapus, tuntung kalawa jetuh iete kalawa pambelum, ije inanggare-KU gangguranan area bagare HINTAN KAHARINGAN.
Artinya: “AKU INILAH RANYING HATALLA Yang Maha Kuasa, awal dan akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-KU yang terang, bersih dan suci, adalah cahaya kehidupan yang kekal abadi dan Aku disebut ia HINTANG KAHARINGAN. (sudah mereka bertemu diatas puncak bukit Kangandung Gandang, Kereng Rabia Hapalangka Langit, mereka membuka kuasa dan kebesaran-Nya. Bersama itu Ranying Hatalla Langit berfirman alangkah indahnya jika Aku menjadikan bumi, langit, bulan, bintang, matahari dan segala isinya). (penaturan pasal 1 Ayat 9).”[8]
4.    Ajaran Agama Hindu Kaharingan
    Agama Hindu Kaharingan percaya tidak kepada perwujudan Tuhan yang tunggal, tetapi  juga percaya bahwa Tuhan sebagai hakekat yang tak berwujud (Nirguna Brahma).[9]
Awalnya ajaran-ajaran dari agama Kaharingan memang tidak dikembangan untuk dituangkan dalam kitab suci, melainkan tersebar melalui tradisi bertutur yang disampaikan tetuha adat atau mereka yang memang dianggap memiliki kemampuan untuk hal itu.(Parada L. KDR. S.Ag. M.Si)
Kepercayaan kepada Tuhan merupakan dasar. Kepercayaan Hindhu Kaharingan yang akan dilaksanakan setiap hari sebagai landasan untuk berbuat didunia. Dalam kehidupan umat Hindhu kaharingan selalu tertanam dalam diri masing-masing bahwa manusia wajib menyerahkan dirinya kepada Tuhan sebagai sumber segala yang ada dan kembali kepada-Nya.
Adapun pokok keimanan dalam ajaran Hindhu kaharingan disebut dengan ‘LIME SARAHEN” atau “LIMA DASAR KEYAKINAN” yang diyakini oleh umat Hindhu Kaharingan yaitu:[10]
a.    Ranying Hatalla Katamparan ikei.
b.    Langit Katambuan ikei.
c.    Petak tapajakan ikei.
d.   Nyalung kapanduaian ikei.
e.    Kalata padudukan ikei.
Kelima keyakinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu:
a.    Ranying hatalla katamparan ikei, adalah suatu ajaran keimanan umat manusia bahwa Tuhan (Ranying Hatalla) adalah penyebab segala sesuatu yang ada, sehingga patut untuk dipercaya. Sesuai dengan keimanan manusia kepada Tuhan untuk dipuja sesuai dengan sabda sucinya yang tertulis dalam kitab suci Hindhu Kaharingan yaitu “Panaturan”.
b.    Langit katambuan ikei, adalah suatu keyakinan manusia bahwa langit berada diatas tempat kehidupan umat manusia (Batang Danum Injam tingang rundung Nasih Napui Burung) yang mana manusia berperasaan luas dalam bumi ini untuk melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan yang sesuai dengan ajaran agama.
c.    Petak Tapajakan Ikei, suatu keimanan manusia bahwa dialam semesta ini manusia bebas atau leluasa untuk berbuat sehingga amal dan bhakti seseorang hanya bisa didapatkan didunia ini dan karma seseorang dapat hanya didunia ini. Dengan begitu manusia dengan sebaik-baiknya memanfaatkan hidup didunia ini untuk belajar beramal dan berbhakti kepada Tuhan (Ranying Hatalla).
d.   Nyalung Kapanduian Ikei, adalah suatu diantara ciptaan (Ranying Hatalla) untuk dipergunakan oeleh manusia sebagai pembersih segala kotoran kehidupan umat manusia, artinya kotoran tersebut dapat dihapus hanya melalui beribadah yang diikuti oleh pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak melanggar ajaran Hindu Kaharingan, sehingga manusia itu kembalinya nanti semoga dalam keadaan suci dan dapat kembali kepada Tuhan.
e.    Kalata Padadukan Ikei, adalah suatu ajaran kepada manusia bahwa hanya didunia ini manusia untuk melakukan berbagai kegiatan, artinya didunia ini sebagai tempat sementara (Batang Danum Injam Tingang Nasih Napui Burung) bagi manusia.
Dari kelima keyakinan Umat Hindu Kaharingan patut untuk berbuat sesuain dengan konsep keyakinan yang menjadi dasar keimanan, sehingga setiap langkah dan perbuatan itu atas dasar keyakinan. Kepercayaan itu umat Hindu Kaharingan dapatkan hanya satu dalam alam semasa hidupnya di (Batang Danum Injam Tingang Rundung Nasih Napui Burung) dunia yang hanya sementara ini untuk berbhakti sehingga tercapai karma pahala yang baik. Sehingga kelak jika sampai saatnya nanti akan kembali saatnya nanti akan kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci di Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan atau tempat kehidupan yang selama-lamanya (abadi) tanpa kekurangan apapun dan menyatu dengan Ranying Hatalla.[11]
Ranying Hatalla adalah sumber dan penyebab segala yang ada didunia, yang berdasarkan sabda Ranying Hatalla yang tercantum dalam kitab suci “Panaturan” Pasal 1 ayat 3.
            Oleh sebab itu wajib hukumnya bagi umat manusia untuk memuja-Nya agar mendapatkan karunia dan hidup damai sejahterabaik didunia maupun diakhiratnya. Manusia dengan berbagai cara dalam memuja tuhan untuk memohon perlindungan dan kedamaian lahir dan batin. Yang dilakukan dengan berbagai upacara sesuai dengan tujuan  bermohon kepada Ranying Hatalla dengan manifestasi-Nya.   
5.    Kitab Suci Hindu Kaharingan
Panaturan merupakan kitab suci yang dipercayai agama Hindu Kaharingan. Panaturan berasal dari bahasa Sangiang yaitu “Naturan’ yang artinya menuturkan atau menselisihkan yang kemudian mendapat awalan Pa sehingga menjadi kata “PANATURAN”[12] yang berarti kitab suci yang menuturkan atau menselisihkan tentang proses penciptaan alam semesta beserta isinya, para Malaikat atau Dewa serta fungsinya bagi umat manusia, tata aturan kehidupan manusia serta tata cara ritual umat Hindu Kaharingan.[13]
Panaturan adalah memuat tentang pokok-pokok ajaran ritual, norma-norma yang diwahyukan atau difirmankan oleh Tuhan YME yang oleh umat Hindu Kaharingan disebut dengan “Ranying Hatalla Langit Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan”.
Kitab suci panaturan memuat tenang firman atau wahyu Ranying Hatalla Langit ini sangat diyakini oleh umat Hindu Kaharingan yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Dan diyakini sebagi pedoman hidup bagi pemeluk Agama Hindu Kaharingan yang merupakan sumber ajaran tantang ketuhanan, bimbingan dan tauladan yang sangat diperlukan didalam menjalankan kehidupan. Ajaran dalam Kitab Suci Kaharingan tidak hanya terbatas sebagai tuntutan hidup individual, melainkan juga sebagai tuntutan untuk hidup bermasyarakat seperti yang tertuang dalam Kitab Suci Panaturan  pasal 41 ayat 44. Dan kitab Panaturan ini memuat 63 pasal dan terdiri dari 2951 ayat.[14]
Sejarah Kitab Suci Panaturan, fakta menegnai keberadaan Kaharingan dapat dilihat dari ribuan tahun yang lalu dan dapat digali sejak diadakan Rapat Besar Damai Tumbang Anoi yang diprakarsai oleh seorang Kaharingan yaitu Damang Batu pada Tahun 1894. Dilihat dari sejarah, perkembangan dari peradaban sejarah suku Dayak maka dapat dibagi menjadi:[15]
1)   Zaman Sang “Eng” atau Zaman Sangen, yang sama dengan “Apa” yaitu zaman yang tidak banyak diketahui, yang melukiskan tentang ajaran atau wahyu yang paling tua dan sulit untuk diketahui yang melukiskan ajaran atau wahyu yang terdapat di dalam Kitab Suci Panaturan yang merupakan ajaran pokok.
2)   Zaman Sang Hiang (Sangiang), menunjukkan tentang zamannya nenek moyang/dalam bahasa Dayak dikenal dengan Tatu Hiang, ditandai dengan corak perkembangan bahasa menjadi Bahasa Sangiang, yang kini menjadi bahasa induk bahasa Dayak Ngaju.
3)   Zaman Tetek Tatum, ditandai dengan corak bahsa yang melukiskan tentang legenda seperti Tambun Bungai, Damang Batu yang kemdian diambil sebagi symbol kepahlawanan.
4)   Zaman Sansana Bandar, ditandai dengan sansana Bandar yang melukiskan tentang generasi tua dalam membina, membimbing generassi muda.

Proses Panaturan menjadi kitab suci sangatlah panjang, dapat dilihat dari perjuangan tokoh-tokoh Kaharingan yang dimulai pembentukan organisasi pertama Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) yang menyatakan Kaharingan sebagai Agama. Proses tururnnya wahyu dari Ranying Hatalla Langit melalui Bawi Ayah kepada keturunan Raja Bunu di Pantai Danum Kalunen, memakai Palangka Bulau turun dibukit Samatuan. Kemudian para Sangiang menyisir sungai Kahean tiba di Lewu Tutuk Juking tempat mereka menagajar keturunan Raja Bunu di dunia dan wahyu tersebut diturnkan kepada Basir, Pahanreran/Handepang Telun dan para Pisur.[16]
6.    Upacara Mangubur
a.    Pengertian
Upacara Mangabur berasal dari kata upacara dan mangubur. Upacara yang dimaksudkan disini harus dibedakan dengan kata upacara sebagaimana lazimnya dipakai di dalam bahasa Indonesia seperti dalam kata; Upacara bendera pada saat peringatan Hari-hari Besar Nasional. Kata Upacara dalam yang dimaksudkan di sini berasal dari kata “Upa” berarti dekat dan “acara” berarti Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Sedangkan mengubur berasal dari kata “Kubur” yang berarti kuburan. Jadi, upacara mangubur adalah upacara menanamkan jenazah ke liang kubur. Bagi umat Hindu Kaharingan apabila seseorang meninggal dunia wajib diupacarakan sesuai tradisi setempat.
b.    Cara-cara Mangubur
Di kalangan umat Hindu Kaharingan ada empat cara mangubur yaitu:[17]
1)   Dikubur yaitu mengubur jenazah dengan cara ditanam ke dalam tanah.
2)   Dibakar yaitu mengubur jenazah dengan cara dibakar.
3)   Digantung yaitu mengubur jenazah dengan cara digantung pada sebuah batang pohon atau tiang khusus.
4)   Tambak atau Pambak yaitu mengubur jenazah dengan cara disemayamkan pada tempat khusus yang disebut Tambak atau Pambak.
c.    Tata Cara Mangubur
Sebelum dikubur jenazah dirawat sebagaimana halnya orang yang masih hidup. Ada beberapa 4 cara perawatan yaitu:
1)   Memandikan Jenazah
Jenazah dimandikan dengan Air bersih, disabun, dikenakan pakaian, rambut diminyak, disisir kemudian wajah dipupur. Pada saat mulai menyirami di bagian kepala jenazah diiringi dengan mengucapkan:
“Tuh impanduiku ikau manampa danum ije barasih, hapa menyau karedahiyang baya sial kawe pali endus, dosa kasalam umba kula babuham, mangat ikau barasih buli ungkup babuhan tatu hiang” (Sekarang kumandikan kamu dengan air yang bersih, untuk membersihkan segala kotoran, papa dan hina salah dan dosamu terhadap kerabat keluargamu agar engkau menjadi suci bersih kembali pulang menemui kerabat leluhurmu).
Kemudian diikuti dengan menyirami seluruh anggota badan jenazah sampai merata dengan menggosokan sabun disekujur tubuh jenazah dengan berulang-ulang sampai benar-benar bersih.
2)   Mendandani Jenazah
Setelah acara memandikan jenazah selesai selanjutnya jenazah dikenakan pakaian yang telah dipersiapkan, dengan lengkap dan didandani dengan pupur dibagian wajah, bercermin, menyisir rambut serta diolesi minyak hal ini dilakukan seperti seorang yang akan ditempatkan diatas bale-bale yang telah disiapkan yang sebelumnya diberi tikar sebagai alas jenazah sedangkan dibawah bale-bale diberi galangan dengan menggunakan dua buah gong pada bagian ujung masing-masing.[18]
Posisi pada saat menempatkan jenazah diatas bale harus memperhatikan orang yang meninggal tersebut apakah laki-laki atau wanita. Bila yang meninggal laki-laki, maka posisi kepala berada di Barat, dan bila yang meninggal wanita, maka posisi kepala berada di Timur, dengan tubuh tegak lurus tangan berada disamping badan. Pada tangan sebelah kanan diberikan telor ayam sebanyak satu butir dan sejumlah uang yang digenggamkan pada tangannya. Pada kedua matanya ditutup dengan uang logam serta dibagian mulut diberi lamiang. Kemudian jenazah ditaburi beras yang sudah diberikan warna merah dan kuning yang dicampuri sirih, pinang dan rokok, selanjutnya pada bagian dadanya ditutupi dengan mangkok kecil warna putih dan posisi telungkup. Diteruskan dengan pemukulan gong (nitih) dengan jumlah pukulan sebanyak tujuh kali, dan apabila wanita, maka gong dipukul sebanyak lima kali.
3)   Membuat Peti Jenazah
Sebalum membuat peti jenazah, maka terlebih dahulu jenazah diukur dengan menggunakan rotan, yang diikuti pemukulan gong sebanyak tujuh kali bila yang meninggal laki-laki dan sebanyak lima kali bila wanita. Ketika akan berangkat harus dilengkapi dengan alat-alat seperti: kampak beliung, parang gergaji, piring sendok panci mangkok gelas dan beras untuk masak.
Sebelum menebang kayu untuk pembuatan peti, maka terlebih dahulu diadakan pemotongan ayam yang darahnya diambil untuk dicampurkan pada beras yang nantinya digunakan untuk keperluan tawur pada batang kayu yang akan ditebang dengan maksud agar batang kayu tersebut tidak membawa sial pada orang dan roh halus penunggu kayu/hutan tidak mengganggu dalam pembuatan peti jenazah. Setelah penebangan kayu selanjutnya dibuatlah peti tersebut di sekitar tempat penebangan untuk kemudian peti itu dibawa kerumah tempat orang meninggal. Sebelum peti dibawa masuk rumah terlebih dahulu dibunyikan gong yang jumlah pukulannya disesuaikan dengan jenis kelamin orang yang telah meninggal. Bila laki-laki sebanyak tujuh kali dan bila perempuan lima kali.
4)   Memasukan Jenazah ke Dalam Raung (Peti Jenazah)
Setelah Raung (Peti Jenazah) sudah siap maka jenazah dimasukan kedalam Raung. Memasukan jenazah ke dalam Raung melalui dua tahap yaitu:
a)    Menyaluh Raung
Ada 3 macam yang menjadi sarana dalam Manyaluh Raung yaitu:[19]
·      Nyating (serbuk damar)
·      Tamiang (bambu jenis Tamiang)
·      Baliung (mata beliung)
Manyaluh Raung adalah mensucikan Raung secara spiritual yaitu seorang Basir menyalakan bambu tamiang yang telah berisikan serbuk damar lalu mengelilingi raung dengan jumlah putaran disesuaikan dengan jenis kelamin yang meninggal dunia (bila laki-laki 7 kali putaran dan bila perempuan 4 kali putaran) kemudian memukul-mukul raung dengan mata baliung seraya mengucapkan mantra sebagai berikut:
“Manggandang-ngandangku bulau sambang raung, dunia tungkup tanggang tingang tuh mangat mantap kasaburan dahiyang baya, sial-kawe kayu ije akan bulau sambang raung tuh, kayu ije batuah hambit akan liau haring kaharingan palus tarantang nule. Hayak nyaluh manyaherang bulau sambang raung tuh menjadi banama bulau pahalendang tanjung uka haring kaharingan anu.....tuh buli ungkup babuhae tatu hiyange umba Ranying Hatalla Langit huang Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan Hakarangan Lamiang Belum Dia Rumpang Tulang Kamalesu Uhat”.
Terjemahannya: “Kugendangkan peti jenazah ini supaya mengusir pengaruh-pengaruh jahat yang ada pada kayu ini agar kayu ini membawa rejeki bagi almarhum dan seluruh keluarga yang ditinggalkan. Hiduplah engkau menjadi sebuah kapal layar bagi si....ini agar dia kembali pada kerabat dan leluhurnya yang telah hidup bersama Tuhan Yang Maha Esa disorga loka”.
b)   Memasukan jenazah ke dalam Raung
Setelah proses Manyaluh Raung sudah selesai maka dilanjutkan dengan memasukan jenazah ke dalam raung diiringi dengan taburan beras tawur berwarna merah dan kuning yang campur giling pinang rukun tarahan dengan mengucapkan mantra sebagai berikut:
“Tuh behas bahandang bahenda, giling pinang, rukun tarahan akam nyaluh arepmu jadi panatau panuhan liau haring kaharingan uka iye jatun katapas kakurange, Kalute kea akan tarantang nule”.[20]

Terjemahannya: “Sekarang engkau beras berwarna merah, kuning beserta giling pinang, rukun tarahan agar engkau menjadikan dirimu segala kebutuhan dan kesejahteraan bagi almarhum agar tidak ada kekurangan dan begitu juga bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan.
Selanjutnya raung ditutup dan dipaku disertai bunyi Payung (gong bernada Payung). Raung dilukis dengan gambar hewan, binatang, pohon, alat-alat musik tradisional, ikan dan lain-lain yang warna-warni.[21]

7.    Upacara Kematian
a. Tujuan Upacara kematian
Tujuan dari Upacara Kematian/Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Pitra yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjuta rasa bakti seorang anak (sentana) kepada leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya dipandang sangat penting, karena seorang anak (sentana) mempunyai hutang budi, bahkan dapat dikatakan berhutang jiwa kepada Leluhur.
Dengan memperhatikan jasa-jasa orang tua tersebut, maka seorang anak (sentara) berkewajiban melaksanakan Pitra Yadnya di dalam hidupnya, yang berintikan rasa bakti yang tulus ikhlas demi untuk pengabdian kepada orang tua dan leluhur, Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-roh leluhur yang telah meninggal sesuai dengan tingkatan yadnya yang di selenggarakan. Jadi menurut agama Hindu Kaharingan di desa Peda Embak Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan orang yang masih hidup dapat juga turut berusaha mengangkat kedudukan Pitara, dari tingkat rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa upacara yang termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, Pengubran mayat, Memapui mayat.[22]
Setiap melaksanaka upacara atau ritual keagamaan (proses untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa), selalu disertai dengan penggunaan upakara (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa), baik dalam wujud kecil, menengah maupun besar, hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan upcara  dan makna upakara  dimaksud.
Terkait dengan penelitian ini yakni “Pelaksanaan Upacara Kematian Dalam Ritual Keagamaan Hindu Kaharingan”, ada beberapa pemikiran mendasar atau konsep dasar yang perlu dijelaskan yakni upacara kematian dan Hindu Kaharingan. Tujuan upacara kematian dengan tatacara pembakaran (mamafui Mayat) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, termasuk Upacara Mamafui Mayat adalah sebagai proses untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya atau ke sumbernya masing-masing. Upacara Mamafui  Mayat juga mempunyai makna sebagai membantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan kembalinya unnsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk Sthula Sarina maka Atma telah meningkatkan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam Bhuwah Loka ini Atman masih berbadankan Sukma Sarina. Dengan demikian Upacara Mamafui Mayat itu adalah upacara penyucian Pitara tahap pertama yaitu dengan melepaskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta.[23]
Terkadang di tengah  masyarakat terdapat pemahaman yang kurang sesuai dengan sastra agama, mengenai hakekat dan tujuan dari Upacara Mamafui Mayat tersebut. Sering pelaksanaan Mamafui mayat di interpretasi secara keliru, yaitu untuk mencarikan tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan roh leluhur menuju sorga, memerlukan bekal atau beya yag banyak dalam bentuk banten yang besar. Dengan adanya interpretasi masyarakat seperti ini , maka terutama masyarakat yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara Mamafui Mayat dengan sarana banten  yang besar agar roh para leluhurnya dapat mencapai sorga.[24]
Jika dikembalikan kepada hakikat Mamafui mayat secara filosopisnya, seperti diuraikan di atas, maka sebenarnya Upcara Mamafui Mayat tidak bisa dikaitkan dengan pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah sorga dan neraka adalah persoalan lain dari Upacara Mamafui Mayat sebab itu ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu hidupnya (karma wasana) seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan Agama Hindu menggariskan bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa dikurangi, dan harus diterima seutuhnya (Cudamani, 1998 dalam Atmadja, 2001: 142).
Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya Hadiwijono dalam Atmadja (2001: 142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu tidak menngenal ritual penebusan dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan agama tertentu. Dosa seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan, semasa hidupnya. Kalau orang sudah mati, maka yang bersangkutan akan membawa karma pada perbuatannya di dunia (Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001: 143).
b. Tatacara Pelaksanaan Upacara Pembakaran Mayat (mamafui mayat)
Bernard Raho SVD menyatakan “Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Sunyoto Usman (2004: 63), mengartikan bahwa dalam teori fungsionalisme struktural sistem sosial tidak hanya dilihat sebagai keadaan yang ditandai oleh keseimmbangan, dan dari bagian-bagian sistem tersebut saling ketergantungan satu sama lain. Tetapi juga sistem sosial dianggap terdiri dari individu-idividu yang saling berhubungan.
Sehubungan dengan pendapat di atas, Dahrendorf, (dalam Veenger, 1990: 213), menyatakan bahwa teori menekankan empat hal: (1) Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap, (2) Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang unsur-unsurnya terintegrasi satu sama lain dengan baik, (3) Tiap-tiap unsur masyarakat mempunyai fungsinya dalam arti bahwa menyumbang kepada ketahanan dan kelestarian sistem, dan (4) Tiap-tiap struktur sosial yang fungsional di alas suatu kesesuian paham, antara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.[25]
Milinowski mengembangkan teori fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplek . Tetapi inti dari teori adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Demikian pula Upacara kematian Pembakaran Mayat adalah suatu  bentuk tradisi dan kebudayaan lokal yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani masarakat di Desa Peda Embak kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan, sehingga upacara ini benar-benar dirasakan sangat berfungsi bagi masyarakat Hindu Kaharingan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulan bahwa teori Fungsional Strukturalisme yang menekankan pada keteraturan (order) dan pengabaian konflik perubahan-perubahan masyarakat menuju suatu keseimbangan. Perihal semacam ini juga sering dengan tujuan berbagai upacara dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Desa Penda Embak Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk itu penggunaan teori Fungsional struktural ini semata-mata terlihat struktur dan fungsi sosial dalam kelembagaan masyarakat namun untuk mengetahui struktur segala Pelaksanaan Upacara Kematian Pembakaran Mayat di desa Peda Embak Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan. Dalam sebuah penelitian dalam kegiataan upacara keagamaan masyarakat Hindu Kaharingan perlu  adanya persiapan yang matang suaya kegiatan tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan bagi pelaksana. Upacara Kematian di desa Penda Embak masyarakat melakukan persiapan pembuatan sarana dan prasrana yaitu mencari kayu bakar untuk pembakaran Mayat. Kayu bakar yang dicari tidak sembarangan dipilih kayu yang bagus tidak lapuk dan kayu yang keras. Dalam proses untuk membuat peti mayat masyarakat id desa Penda Embak mencari kayu yang besar dan sudah tua umurnya dan tidak sembarangan kayu yaitu yang digunakan kayu Jalatung. Kayu Jalatung digunakan sudah menjadi tradisi dari nenek moyang jaman dulu sampai sekarang masih digunakan mencari kayu untuk membuat peti mayat yang disebut Raling.  Adapun untuk pencari bahan kayu tersebut memakai sarana hewan kurban Babi untuk memberikan sesajen kepada kayu yang akan digunakan pembuat peti menurut kepercayaan masyarakay di desa Peda Embak bahwa kayu itu ada penunggunya dan segala sesuatu tidak terjadi dan roh kayu tersebut biar kembali kepada orang yang meninggal. Adapun kayu dipakai untuk pembuatan peti mayat adalah kayu Jalatung, dengan adanya minta ijin dalam pemotongan kayu supaya tidak terjadi hal hal yang buruk sehingga bisa dinetralisir dengan melaksanakan pemotongan hewan korban tersebut.
Sesudah selesai mencari bahan kayu bakar dan kayu untuk membuat Peti Raung masyarakat bergotong royong membuat peti mati. Keluarga dibantu oleh sanak saudara memandikan mayat, pasang pakaian dan memberikan tanda tunding didahi yang dibuat dari Jarenag tujuan dari itu sebagai tanda bahwa dia sudah meninggal dunia. Sebagai kepercayaan umat Hindu Kaharingan yang berada di desa Penda Embak Kalua tanda tersebut belum diberikan dianggap belum sempurna dalam pelaksanaan pemandian mayat yang sudah meninggal dan pada sore harinya mayat di masukkan dalam peti mayat.
Menurut Tocih dalam proses pembakaran mayat untuk umat Hindu Kaharingan di desa Penda Embak harus mencari hari yang baik yaitu Hari Ganjil dan bulan langit naik karena kehidupan yang meninggal untuk kehidupan yang ditinggalkan supaya tidak mendapatkan sial. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kaharingan di desa Peda Embak kalau semua aturan dilanggar maka akan terjadi tidak lama lagi manusia meninggal dunia lagi.[26]
Dalam proses upacara dalam rumah sebelum di laksanakan pembakaran mayat ada acara habukung. Tujuan dari habukung adalah untuk jipen atau pembantu untuk jipen orang yang meninggal. Bukung dibuat dari kayu sesudah selesai acara bukung dilanjutkan menawur tiga kali ditunjukan kepada arwah yang sudah meninggal bahwa acara sudah selesai pembantu sudah ada.
c. Proses Pembakaran Mayat
Umat Hindu dan masyarakat di desa Penda Embak bergotong royong menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembakaran mayat di antaranya: 1. Daun Sawang 2. Ayam 3. Babi 4. Sipak Rokok 5. Daun Pisang 6. Alu 7. Grong 8. Bumbu 9. Rotan 10. Baram. Semau sarana tersebut harus ada dan tidak boleh dilupakan.
Proses pembakaran mayat menyiapkan tujuh daun sawang tempat memberikan makanan kepada Roh yang sudah meninggal di dalam rumah diletakkan di tengah pintu, daun bawang berisi nasi daging ayam/babi, Sipak Rokok Penyau, untuk memberikan makanan di berikan tanda dengan memukul Gong 3 kali dengan memanggil nama Roh yang meninggal. Pemberangkatan mayat ketempat pembakaran dengan prosesi yang dipimpin oleh pisor dengan mengayunkan mayat kepintu 3 kali sudah selesai bukung ikut memikul mayat dengan jipen. Proses pelaksanaan pembakaran mayat yang harus disiapkan antara lain Pantar/tiang ulin untuk jalan pulang. Roh ke Lewuk Tatau. Sesudah pembakaran mayat (Hinau) dengan sarana, ayam satu ekor, untuk menyaki dengan darah ayam, memapas dengan ayam dan daun sawang papas, turunkan gerantung untuk balai pali.[27]
Pembakaran Mayat yang dipimpin oleh seorang pisur dengan berdoa memberitahu untuk roh pulang ke Hatala, badan kembali ketanah, darah kembali air, rambut kembali ke uru, napas kembali ke angina, tulang kembali ke kayu proses pembakaran yang menghidupkan Api adalah keluarga yang meninggal. Sesudah selesai pembakaran mayat abu mayat diambil di oleh keluarganya dengan menggunakan Katip yang dibuat dari batang bamboo, dimasukan di dalam Kiyap, dalam pengambilan abu mayat diambil dari atas sampai bawah. Tulang-tulang tersebut di bersihkan dengan minyak, Garu dibungkus dengan kain putih, dimasukkan di dalam botol, dimasukkan dalam gong, tulang dimasukkan dalam gong di bawa di simpan luar kampong, dilanjutkan dengan cara memasuk pantar, tulang masuk kebalai pali. Acara Pantar tulang di simpan diatas Alu dilanjutkan mendirikan Sangka Raya, Pandung Kayu, menurunkan Gong kebalai Pali langsung menganjan Tujuh Kali.
Memasak Kenahi untuk di gunakan memberikan makanan Roh yang jahat supaya tidak menggangu dalam upacara tersebut/Awin tempat untuk memasak Kenahi dengan bamboo Lawas yang di sandarkan di pohon Pinang yang sudah berbuah satu kali.
d.      Prosesi Nyorat
Dalam prosesi upacara menyorat diantaranya Tampurung kelapa dilubangi untuk memberikan makanan yang sudah meninggal di lanjutkan pendirian Pantar bersamaan dengan yorat lokasi dengan sanding. Pendirian Pantar bersamaan dengan nyorat dengan sarana (kue) wadai diikat pantar dengan bersamaan dengan bongkar Sangka raya bersama dengan Beliung Budia Ayam Pantar, parang sunsungai, bersamaan dengan Bangkai sangakik pandai pandung Kayu diikat jadi satu dengan pantar, karena Baram, minum Papas, Agung dibawa untuk menganjan tuju Kili minum baram pali setelah di bakab setelah pangkai tulang masuk mengantar mayat dilingkungan keluarga.[28]
8.    Upacara Tiwah
a.    Pengertian
Upacara Tiwah merupakan upacara kematian agama Hindhu Kaharingan yang dilakukan untuk memimpin liau(arwah) di dalam perjalanananya menuju lewu liau(tempat peristirahatan/surga). Lewu liau adalah tempat jiwa dipersatukan dengan moyangnya, dan untuk kedua kalinya memakamkan tulang-tulang orang yang sudah meninggal di tempat peristirahatan tetap yang disebut sandung.[29]
Sandung berfungsi untuk menyimpan tulang-tulang orang yang sudah meninggal. Masing-masing keluarga harus mempunyai sanding yang diletakkan di depan rumah guna menyimpan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal. Dan dalam satu sandung dapat memuat beratus-ratus tulang orang yang meninggal (Parada, L. KDR. S.Ag. M.Si selaku Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya).
Upacara Tiwah adalah upacara kematian kedua, karena sebelum dilaksanakan Tiwah, ada upacara kematian yang pertama dengan memimpin liaw  menuju tempat peristirahatan sementara yaitu dibukit pasahan raung. Pasahan raung adalah tempat pemondokan sementara peti mayat orang yang mati dan biasanya dibuat di hutan yang jauh dari perkampungan.[30]
Agama Kaharingan percaya setiap manusia diciptakan atau dilahirkan dari tiga unsur, yaitu unsur yang berasal dari Ranying Hattala Langit, ayah dan ibu secara biologis. Jika salah satu dari ketiga unsur tidak ada, maka kelahiran dianggap tidak sempurna. Setalah manusia itu wafat, maka ketiga unsur tadi diantar oleh Duhung Maha Tandang[31] ke tempat yang telah ditetapkan oleh Ranying Hattala Langit sejak awal.
Yang terjadi dalam upacara Tiwahadalah jasad diambil dari kuburan, lalu dibersihkan dan dimasukkan ke dalam sebuah kotak, yang disebut sandung dalam bahasa Dayak. Sandung kemudian disimpan dan tidak boleh menyentuh tanah. [32]
Tiga tahapan pelaksanaan upacara kematian menurut suku dayak:
1)        Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan.
2)        Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas pali yaitu untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian.
3)  Upacara Suci Tiwah ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa dan roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.
Upacara Suci Tiwah adalah upacara keagamaan, bukan upacara adat yang secara umum dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Upacara ini dapat dilaksanakan dengan syarat arwah-arwah yang ditiwahkan itu semasa hidupnya harus beragama Kaharingan. Didalam pelaksanaannya, upacara suci Tiwah diberikan tata adat dan tata cara khusus dengan hikmat dan bersih sebagaimana telah diatur sejak dahulu kala dan sampai sekarang tetap diingat dan dilaksanakan oleh umat Kaharingan. Nilai-nilai keagamaan, budaya maupun sosial yang terkandung di dalamnya, menjadikan Upacara Suci Tiwah sebagai upacara tertinggi dan beresiko tinggi bagi umat Kaharingan. Oleh karena itu, pelaksanaan dan persiapan segala sesuatu harus dilakukan dengan baik dan cermat, karena jika terjadi kekeliruan dalam pelaksanaannya, maka para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat. Sebagai contoh, jauh dari rezeki di masa mendatang, kesehatan terganggu atau sakit-sakitan, menanggung berbagai kutukan di masa mendatang.
Puncak acara upacara Tiwah adalah memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sanding. Yang sebelum itu dilakukan, terlebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau,sapi, dan babi. Makanan dan daging hewan kurban berguna untuk menjamu para tamu dan membuat sesaji bagi roh leluhur dan roh-roh halus.[33]
b.    Tujuan Upacara Tiwah
           Tujuan Upacara Suci Tiwah ialah mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur Allah (Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini tidak hanya diperuntukan bagi orang yang mati secara tidak wajar (dibunuh, tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut agama Kaharingan yang meninggal. Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak menyelenggarakan upacara suci Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan hidup dengan kesialan atau hidup di ddalam hukum karma (pali). Contohnya, dalam pendidikan gagal dan hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain itu arwah yang tidak ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau raung dan akan bergentayangan. Oleh karena itu, upacara suci Tiwah harus dilakukan agar arwah orang yang sduah meninggal dapat mencapai surga atau disebut Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau. Ada beberapa tujuan upacara Tiwah :
1)   Memanggil jiwa-jiwa dari peristirahatan sementara (sanding)
2)   Memandikan jiwa-jiwa tersebut.
3)   Menyediakan pakaian bagi jiwa-jiwa.
4)   Penyediaan makanan bagi jiwa untuk bekal menuju Lewu Tatau.
5)   Memberikan kesempatan bagi jiwa-jiwa tersebut untukmemberikan salam perpisahan dengan kerabat yang masih hidup.
6)   Mengawal jiwa-jiwa tersebut menuju dunia “makmur dan sejahtera” (Lewu Tatau).
7)   Menyatukan jiwa-jiwa tersebut kembali bersama Ranyingdan Jata sebagai pencipta mereka.[34]
Tujuan Upacara Tiwah menurut (Handoko, 2005: 8) antara lain:
a)      Untuk menyucikan membebaskan dan menyempurnakan Roh Liau Karahang Tulang agar dapat menyatu dengan Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa.
b)      Untuk mengantarkan  Roh Liau Haring Kaharingan menuju Lewu Tatau Habaras Bulau habusung Hintan, Moksa, Sorga (alam Keabadian/kesempurnaan atau alam kekuasaan Ranying Hatalla).
c)      Untuk mewujudkan rasa bhakti dan cinta kasih kepada leluhur (Pitra Yadnya).
c.    Pelaksanaan Upacara Tiwah
Prosesi penyelenggaraan upacara Tiwah, mencakup persiapan, pelaksanaan, dan penutupan upacara.
1) Persiapan
Persiapan dimulai dengan mendirikan balai. Balai adalah satu bangunan berbentuk rumah. Pembangunan balai cukup dilakukan dalam satu hari saja. Setelah balai selesai dibangun, pagi-pagi sekali berbagai kelengkapan upacara Tiwah seperti, gong, gendang, kenong dan lain sebagainya dibawa ke dalam balai, dan diletakkan di tempat yang sudah disediakan.
Pada hari berikutnya masyarakat mempersiapkan beberapa bahan yang akan digunakan membuat sandung, sapundu, dan pantar. Sandung adalah kotak kayu penyimpanan tulang-tulang yang sudah dibersihkan. Sapundu adalah patung kayu. Pantar adalah tiang kayu dimana dibawahnya akan diletakkan kurban kepala. Bahan yang digunakan adalah kayu Bulit’n (kayu ulin) yang ditebang dari hutan. Kayu ini sangat keras dan tahan terhadap anai-anai. Selain mempersiapkan balai dan kayu ulin, persiapan lain adalah berbelanja bahan konsumsi, menumbuk padi, membuat minuman (tuak) dan sebagainya.[35]
Persiapan sebelum upacara Tiwah antara lain:[36]
a)      Pertemuan keluarga (rapat singkat) membentuk panita pelaksanaan Upacara Tiwah.
b)      Mendata jumlah keluarga yang ikut serta dalam penyelenggaraan Upacara Tiwah.
c)      Menentukan jumlah peti jenazah yang akan ditiwahkan.
d)     Membuat rancangan anggaran biaya UpacaraTiwah.
e)      Mempunduk sambur Tiwah.
f)       Menentukan waktu dan tempat pelaksanaaanUpacara Tiwah (jadwal Upacara).
g)      Menentukan orang tukang Hantreran (Pisor) yang akan memimpin Upacara Tiwah.
2) Pelaksanaan
Tahap Pelaksanaan Upacara Tiwah menurut DAS Katingan (Handoko, 2005:5) yaitu:
a)    Mendirikan Balai Pali/Balai Nyahu.
b)   Muluh Gandang (membunyikan gendang garantung).
c)    Mendirikan Sangka Raya Pasar Sabahulu, Sandung Kayu dan Sapundu.
d)   Menggali tulang yang ditiwahkan.
Pada hari pertama dilakukan upacara Tumpah Tua’ Nyemoleh Manhu’ Bebuag’ng Tentuna, yaitu upacara menumpahkan tuak dan memotong ayam untuk diambil darahnya. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa kepada Sanghyang dipucu’ duwata dibabah, yaitu doa kepada Sanghyang (Tuhan) di atas, dewata yang di bawah yang melaksanakan. Pada hari ini juga manter akan memberikan Unuk, yaitu ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu, kepada keluarga yang melakukan upacara Tiwah. Unuk ini berfungsi membedakan tamu undangan dari keluarga yang sedang menyelenggarakan upacara tiwah.[37]
Hari kedua adalah upacara Nyawat Sanhug’ng, yaitu upacara membuat sandung untuk kotak kayu penyimpanan tulang-tulang yang sudah dibersihkan. Sandung ini bentuknya seperti rumah tapi berukuran sangat kecil seperti sangkar burung, dan biasanya diletakkan di samping rumah induk.
Hari ketiga adalah upacara Mengawi Sepunhu agat’n Pantar, artinya membuat sapundu dan pantar. Sapundu[38] adalah patung yang terbuat dari kayu ulin berukir digunakan untuk mengikat hewan kurban pada saat upacara Tiwah. Sapundu yang dibuat berjumlah dua patung dan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sedangkan pantar adalah tiang tinggi terbuat dari kayu ulin yang ditanam di tanah, dan di bawahnya ditanam kepala kurban. Pada jaman dahulu yang ditanam adalah kepala manusia yang dijadikan kurban, tetapi kini diganti dengan kepala hewan.
Hari keempat dilaksanakan upacara Meruwat agat’n Kasa’i Minyak, yaitu merawat dan meminyaki tulang. Kegiatannya adalah membongkar mayat dari tempat semula dikuburkan, untuk diambil tulang-tulangnya. Tulang-tulang tersebut harus dicuci sampai bersih menggunakan air sabun, kemudian diolesi minyak kelapa yang dicampur kunyit. Upacara Meruwat agat’n Kasa’i Minyak ini melambangkan pengabdian keluarga yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal tersebut. Semua tulang-tulang yang telah dibersihkan dan diolesi minyak, dimasukkan ke dalam tempayan atau guci yang sudah diberi lubang pada dasarnya. Lubang pada dasar tempayan atau guci berfungsi untuk merembeskan air, supaya tulang tidak terendam air yang tertampung di tempayan atau guci. Kemudian tempayan atau guci dimasukan ke dalam sandung. [39]
Hari kelima dilanjutkan dengan upacara Melomang, yaitu memasak beras ketan yang telah direndam terlebih dahulu, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Bungkusan daun pisang tersebut dibentuk bulat panjang, dan dimasukan ke dalam ruas bambu yang sudah disediakan. Acara selanjutnya adalah Menyawat Reranca’an, yaitu acara menempatkan sesaji. Sesaji terdiri dari ketan hitam, ketan putih, kue cucur, telur rebus satu butir yang telah dibelah menjadi dua bagian, ayam panggang satu ekor, kapur, sirih, pinang dan rokok. Setelah acara Menyawat Reranca’an selesai, pada hari itu juga dipersiapkan hewan kurban yaitu, tiga ekor ayam dan tiga ekor babi.
Hari keenam dilaksanakan upacara inti, yaitu Labuh Bosar. Acara pada hari ini adalah mendirikan jarau pemali, melepas unuk, makan brata, nganjan, dan beigal. Yang dimaksudkan dengan mendirikan jarau pemali adalah mendirikan tempat penampungan sumbangan. Melepas unuk adalah melepas ikat kepala yang telah dipakai selama prosesi upacara Tiwah berlangsung sedangkan makan brata adalah upacara makan makanan khusus bagi keluarga penyelenggara Tiwah. Makanan khusus itu berupa ketan hitam, ketan merah, ayam panggang dan tuak. Nganjan adalah menarikan tarian Tiwah, tarian khusus untuk upacara Tiwah. Menarikan tarian ini harus mengenakan pakaian khusus Tiwah. Terakhir adalah beigal, yaitu menarikan tarian yang melambangkan kegembiraan dan sukacita karena telah melaksanakan upacara Tiwah sampai selesai.[40]
3)   Akhir Upacara Tiwah
Akhir upacara tiwah akan dilaksanakan Upacara Melorak Panhug’ng, Lumpag’ng Mati Lumpag’ng Hidup dan Menyorahan Kait’n Peigal, yaitu :
a. Melorak Panhug’ng adalah acara pembubaran panitia upacara tiwah.
b. Lumpag’ng Mati Lumpag’ng Hidup adalah upacara peralihan dari situasi berduka karena ada keluarga yang meninggal, ke situasi sukacita atau bahagia karena telah melaksanakan upacara Tiwah sampai selesai. Acara ini ditandai dengan Menyorahan Kait’n Peigal, atau menyerahkan kain peigal. Kain peigal adalah kain yang dipakai dan digunakan dalam tarian kegembiraan.
Jika dalam prosesi penutupan upacara Tiwah tuak masih belum habis, upacara penutupan ini diperpanjang sampai beberapa hari hingga tuak habis.[41]
9)      Hari-Hari Besar Hindu Kaharingan
Hari-hari besar agama Hindu Kaharingan adalah sama dengan agama Hindu yaitu “Hari Raya Nyepi”. Tetapi ada beberapa daerah seperti Gunung Mas, khususnya masyarakat Dayak dulu yaitu hari raya  Bulan Lime, Hari-haring Kaharingan. Biasanya pada setiap bulan lima, karena bulan Pahareman, istilah orang tua dulu yaitu mencari bulan baik (saat bulan naik) baru dilaksanakan hari raya. Tetapi yang biasa dilakukan adalah hari raya Nyepi, karena salah satu agama yang di SK kan pemerintah adalah Hindu Kaharingan. Yang dinamai Majelis Besar Agama hindu Kaharingan, yang pusatnya di Palangkaraya. Dan sudah di SK kan lewat SKH 37 tahun 1980. Dan untuk hari raya biasanya merujuk pada ritual penting agama kaharingan yaitu Upacara Tiwah dan Basarah.[42]
Kemudian untuk ibadah, mereka biasanya beribadah setiap hari Kamis malam (malam Jum’at), biasanya diisi dengan acara-acara doa, kidung-kidung, daan persembahan. Yang dilakukan di Balai Basarah.
C. PENUTUP
   Hindhu Kaharingan adalah agama yang dipercayai oleh sebagian masyarakat Kalimantan.  Kaharingan dapat juga diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit. Yang memiliki konsep-konsep kepercayaan dan religi dalam Hindhu Kaharingan seperti:
1.      Hindu Kaharingan merupakan pengintegrasian antara agama Kaharingan dengan Hindu pada tahun 1980 an.
2.      Ranying Hatalla Langit adalah sumber penciptaan dan semua hidup. Atau menurut kepercayaan umat Hindu Kaharingan diakui sebagai Tuhan mereka.
3.      Allah adalah Tuhan yang berdaulat atas alam semesta.
4.      Terdapat beberapa dewa sebagai perantara antar manusia dan Allah.
5.      Tempat tinggal Allah berada pada Dunia Atas (Ranying) dan Dunia Bawah (Jata).
6.      Simbolisme Ranying dan Jata adalah berupa Tingang (Enggang) dan Tambun (Naga).
7.      Panaturan yang dipercayai sebagai Kitab Suci Hindhu Kaharingan.
8.      Adanya kehidupan setelah kematian.
9.      Perjalanan ke Lewu Tatau (Dunia Makmur dan Sejahtera) bagi Jiwa setelah meninggal.




















DAFTAR PUSTAKA
Handoko, WIDYA KATAMBUNG (Jurnal Filsafat Agama Hindu) Pelaksanaan Upacara Kematian Umat hindhu Kaharingan di Desa penda Embak Kecamatan katingan Hulu Kabupaten Katingan, 2015. STAHN-TP. Palangkaraya. CV. Bintang Timur.

Handoko,Tampung Penyang (Jurnal Agama Hindu)  Volume II, Studi Tentang Ritual Tiwah Agama Hindu Kaharingan di Kabupaten Katingan. 2005.  Sekolah Tinggi Agama Hindu negeri Tampung Penyang Palangkaraya.

Kencong, dkk, Implementasi Ajaran Agama Hindhu Kaharingn di Kalimantan Tengah, 2007. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP).

Lewis KDR, BBA, Bahan Ajar Theologi Hindu Kaharingan I, 2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung penyang (STAHN-TP).

Pnyang Simang, dkk, Bahan Ajar(Panaturan I), 2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP).

Djunas Unget, dkk, Bahan Ajar Acara Agama Hindhu Kaharingan I, 2003. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP).

Djunas Unget, Bahan Ajar Acara Agama Hindu Kaharingan I, 2005. Palangkaraya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP).

Journal_Aspek_Budaya_Sosial_dan_Ekonomi_dari_Tiwah/(UpacaraMasyarakatDayakTomunLamandau),pdf. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2016 pukul 10.32.

lib.ui.ac.id>file>130312D00631_Kaharingan_Dinamika_Analisis.pdf. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 11.30.

http://learn-indo.weebly.com/uploads/2/4/4/8/24489018/tiwah_-_indonesian.pdf. Diakses pada tanggal 14 November 2016 pukul 18. 30.


www.wacana.co>2014/02>Kaharingan­_Agama_Leluhur_Orang_Dayak. Diakses pada tanggal 21 November 2016 pukul 19.40.

Wawancara dengan Parada L. KDR. (Tokoh Agama Hindu Kaharingan). Palangkaraya. Pada Tanggal 29 Desember_2016.Pukul_19.40.





















                [1] Wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan Palangkaraya (Parada. L. KDR S.Ag. M.Si) bahwa hanya ada Dayak kuno saja dan tidak ada Dayak Modern.
                [2] www.wacana.co>2014/02>Kaharingan­_Agama_Leluhur_Orang_Dayak
                [3] Ibid.
                [4]lib.ui.ac.id>file>130312-D00631_Kaharingan_Dinamika_Analisis.pdf.
                [5] Berdasrkan hasil wawancara dengan tokoh agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya, bahwa Hindu mengakui bahwa kaharingan sudah ada sejak manusia pertama ada. Dapat dilihat dari adanya kerajaan Kutai Negara di Kalimantan Timur.
                [6] Yohanes Salihah adalah seorang perawat, beragama Kristen dan pegawai di rumah sakit missi di Kuala Kapuas (Barimba) tepatnya pada masa penjajahan. Dan pada zaman penjajahan Jepang kembali beragama Kaharingan dan menjadi imam Kaharingan. Kemudian pada tahun 1950 beliau diangkat sebagai Damang kepala Adat di mandomai. Dan pada tahun 1972 ia ditunjuk oleh pemerintah RI sebagai penasehat dalam hal hukum adat kerena pengetahuan agamanya dan hukum.
[8] Lewis KDR, BBA, Bahan Ajar Theologi Hindu Kaharingan I, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung penyang (STAHN-TP) PALANGKARAYA. 2003, Hal. 27-28
                [9] Unget Djunas, dkk, Bahan Ajar Acara Agama Hindhu Kaharingan I, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP).Palangkaraya. 2003. hlm.12.
[10] Kencong, dkk, Implementasi Ajaran Agama Hindhu Kaharingn di Kalimantan Tengah, Sekolah Tinggi Agama Hindhu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP.Palangkaraya. 2007. Hlm. 18.
                [11] Ibid, hlm. 20.
                [12] Kitab Suci Panaturan sebagaimana kitab Suci Al-Qur’an ayat-ayatnya diturunkan secara berangsur-angsur. Sebenarnya pada dasarnya ayat-ayat pada kitab Panaturan diturunkan secara langsung, akan tetapi ketika keturunan Raja Bunu (manusia pertama), yang diturunkan melalui beras kehabisan berasnya beras diturunkan sebanyak tujuh iju sambang garantum hanya pintu jinjingan atau tujuh buah gong. Beras ditutrunkan kepada manusia tidak hanya bisa dimakan melainkan dapat digunakan untuk mengundang berhubungan dengan Tuhan, yang berisi ayat-ayat suci. Dan yang ada dalam kitab suci Panaturan hanya sebagian kecil.
                [13] Simang Pnyang, dkk, Bahan Ajar(Panaturan I), Sekolah Tinggi Agama Hindhu Negeri Tampung Penyang(STAHN-TP). Palangkaraya. 2003. Hlm. 2.
                [14] Ibid, hlm. 3.
                [15] Ibid, hlm. 7.
                [16] Ibid, hlm. 12.
                [17] Berdasarkan wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan  di Palangkaraya (Parada, L. KDR S.Ag. M.Si) tanggal 29 Desember 2016, bahwa ke- 4 cara-cara mengubur tersebut semuanya biasa dilaksanakan, akan tetapi tergantung dengan adat kebiasaan warga, keluarga, atau suku setempat. Atau bisa juga berdasarkan wasiat orang yang akan meninggal0
[18] Unget Djunas, Bahan Ajar Acara Agama Hindu Kaharingan I, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP) palangkaraya 2005, Hal. 99.
[19] Ibid, hlm. 100.
[20] Ibid, hlm. 101-102.
[21] Ibid, hlm. 105.
                [22] Handoko, WIDYA KATAMBUNG (Jurnal Filsafat Agama Hindhu) Pelaksanaan Upacara Kematian Umat hindhu Kaharingan di Desa penda Embak Kecamatan katingan Hulu Kabupaten Katingan, CV. Bintang Timur. STAHN-TP. Palangkaraya. 2015.Hlm. 22.
                [23] Ibid. Hlm. 23
                [24] Ibid.
                [25] Handoko, WIDYA KATAMBUNG (Jurnal Filsafat Agama Hindhu) Pelaksanaan Upacara Kematian Umat hindhu Kaharingan di Desa penda Embak Kecamatan katingan Hulu Kabupaten Katingan, CV. Bintang Timur. STAHN-TP. Palangkaraya. 2015. Hlm.24
                [26] Ibid. Hlm. 26
                [27] Ibid.
                [28] Ibid. Hlm. 27.
                [29] lib.ui.ac.id>file>130312-D00631_Kaharingan_Dinamika_Analisis.pdf.
                [31] Duhung mamatandang: Roh halus yang bertugas mengantar roh yang telah meninggal dalam acara Tantulak dan upacara suci Tiwah yang mana dalam acara Tantulak roh tersebut diantar sampai Bukit Nalian Lanting Lewu Rundung Kereng Naliwu Rahan, sedangkan dalam upacara suci Tiwah roh-roh orang yang telah meninggal tersebut diantar ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tilang Isen Raja Kamalesu Uhat, dan menggunakan Banama Nyahu untuk mengantar roh tersebut.
                [33]Journal_Aspek_Budaya_Sosial_dan_Ekonomi_dari_Tiwah/(UpacaraMasyarakatDayakTomunLamandau),pdf. Hlm. 176.





                [35]Journal_Aspek_Budaya_Sosial_dan_Ekonomi_dari_Tiwah/(UpacaraMasyarakatDayakTomunLamandau),pdf. Hlm.177.
                [36] Handoko,Tampung Penyang (Jurnal Agama Hindu)  Volume II, Studi Tentang Ritual Tiwah Agama Hindu Kaharingan di Kabupaten Katingan. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangkaraya. 2005. Hlm. 9.
                [37] Ibid, hlm.178
                [38] Berdasarkan wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya (Parada L. KDR. S.Ag. M.Si) bahwa uniknya di Hindu Kaharingan ini adalah misalnya hewan kurbannya laki-laki maka sapundunya perempuan, begitupun sebaliknya jika hewan kurban/rohnya perempuan maka sapundunya laki-laki. Hal ini sudah merupakan sebuah tradisi dan menjadi peratuaran.
                [39] Ibid, hlm.179.
                [40] Ibid, hlm. 180.
                [41] Ibid,
                [42] Wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya (Parada L. KDR. S.Ag M.Si) pada tanggal 29 Desember 2016 pukul 16.25.

No comments: