Sunday, October 9, 2016

Tata Pergaulan




TATA PERGAULAN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah:Hadits
Dosen: EMAWATI, M.Ag.

Disusun Oleh:
SITI NURJANAH
1501112023

INSTITUT AGAMA ISLAMNEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 1437 H/2016 M






KATA PENGANTAR

AssalamualakumWr. Wb
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Tata Pergaulan”. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hadits” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada “ Ibu EMAWATI, M.Ag.” yang telah membimbing kami dan teman-teman satu kelompok yang telah bekerja sama sehingga makalah ini dapat terselesaikan.Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Terimakasih
Wassalamu’alaikumWr. Wb.



                                              Palangkaraya,     Maret 2016

Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................  i
DAFTAR ISI .....................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang .....................................................................................  1
B.  Rumusan Masalah .................................................................................  1
C.  Tujuan Penulisan ...................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Tata Pergaulan ......................................................................................  3
B.     Larangan Berduaan Tanpa Mahram .....................................................  8
C.     Sopan Santun Duduk di Pinggir Jalan ..................................................  8
D.    Menyebarluaskan Salam ......................................................................  12
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ..........................................................................................  16
B.     Saran ....................................................................................................  16
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bergaul dengan orang banyak di tengah-tengah masyarakat mempunyai nilai keutamaan lebih dibanding dengan hidup menyendiri menjauh dari mereka dengan syarat mengikuti mereka dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun sosial seperti menghadiri shalat jum’ah, shalat berjamaah, majlis-majlis ta’lim, mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah (ta’ziyah), membantu meringankan beban sebagian anggota masyarakat yang memerlukan, memberikan bimbingan kepada yang tidak tahu/tidak mengerti atas suatu persoalan keagamaan maupun sosial serta mampu mengendalikan diri dari mengikuti hal-hal yang tidak baik dan tabah serta sabar atas segala gangguan yang mungkin timbul.
Begitulah yang dapat kita lihat dari riwayat hidup Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat beliau yang mulia bahkan semua Nabi dan Rasul Allah senantiasa bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat .
Di dalam tulisan ini akan dijelaskan 3 pokok bahasan tentang Tata Pergaulan, yaitu meliputi :
1.   Larangan beduaan tanpa mahram
2.   Sopan santun duduk di pinggir jalan
3.   Menyebarluaskan salam

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tata pergaulan yang baik menurut islam ?
2.      Jelaskan hadist-hadist tentang larangan berduaan tanpa mahram ?
3.      Jelaskan hadist-hadist tentang sopan santun duduk di pinggir jalan ?
4.      Jelaskan hadist-hadist tentang menyebarluaskan salam ?



C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tata pergaulan yang baik menurut islam.
2.      Mengetahui dan menjelaskan hadist-hadist yang menyatakan larangan berduaan tanpa mahram.
3.      Mengetahui dan menjelaskan hadist-hadist yang menyatakan sopan santun duduk dipinggir jalan.
4.      Mengetahui dan menjelaskan hadist-hadist yang menyatakan menyebarkan salam.























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tata Pergaulan
1.      Etika Bergaul
             Perhatian Islam terhadap pergaulan sangat besar sekali, karena adanya urgensi yang besar dan dampak sensitif, sehingga Islam memerintahkan umatnya agar bergaul dengan orang-oramg yang benar. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (At-Taubah: 119).
Islam juga menganjurkan agar bergaul dengan para ahli ibadah. Allah berfirman, “Dan bersabarlah bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhan-Nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaannya”. (Al-Kahfi:28).
             Islam juga melarang agar tidak bergaul dengan orang-orang dzalim, karena banyak sekali pergaulan yang hanya sesaat saja, tetapi bisa membuka aib teman bergaul sampai hari Kiamat dan pada akhirnya diiringi sebuah penyesalan yang tidak terhenti.
              Islam menjadikan setiap pergaulan yang ikatan dan hubugannya tidak dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Subhanallah wa ta’ala sebagai sesuatu pergaulan yang mengantarkan kepada permusuhan yang nyata. Allah berfirman, “Teman-teman karib pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf:67).[[1]]
Sebagian dari etika dan kewajiban dalam etika bergaul tersebut seperti berikut ini:
a.    Menyeleksi dan memilih teman sebelum bergaul, teman tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Berakal sehat
2)      Berpegang teguh dengan agama yang benar
3)      Berakhlak dengan akhlak terpuji.
b.    Tidak bergaul dengan orang-orang bodoh dan fasik, orang-orang yang hina, dan goblok, karena itu teman itu bisa mempengaruhi (teman gaulnya), dan barangsiapa duduk bersamanya mesti akan terpengaruh
c.    Ikhlas karena Allah dalam bergaul, tanpa melihat tujuan duniawi atau kepentingan yang lain.
d.        Berkenalan sebelum bergaul, tanya tentang namanya, pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dasar-dasar perkenalan.
e.    Menganggap teman gaulnya seperti dirinya sendiri dalam menyampaikan kebaikan terhadapnya, berusaha memberikan manfaat kepadanya dan memberikan sesuatu yang berharga karenanya.
f.     Memperbanyak silaturahim, saling memberi nasihat, saling memberi hadiah, saling berkunjung jarena Allah. Dan memberikan bantuan, dengan tenaga dan harta, untuk menghilangkan kesusahan dan melapangkan kesempitan, sekalipun hal itu mengalahkan kepentingan pribadinya.
g.          Tidak berlebih-lebihan dalam mencintai temannya dan dalam memujinya, adil dan tengah-tengah dalam bergaul dan berhubungan, selalu berpegang teguh pada nilai-nlai agama yang berlaku.
h.          Memulai dengan salam dan jabat tangan setiap kali bertemu (dalam suasana yang baru), disertai dengan wajah berseri-seri dan pembicaraan yang lembut.
i.            Tidak mengolok-olok, tidak mengunjing, tidak dengki, tidak benci, tidak beprasangka buruk, tidak mencari-cari alasan untuk setiap hal yang tidak berjalan dengan sesuai harapan.
j.            Tidak membeberkan rahasia yang telah diamanatkan temannya kepadanya sekalipun dengan sebab apa pun.[[2]]
2.      Tata Cara Pergaulan Lawan Jenis
Adapun pergaulan antara pria dan wanita atau sebaliknya maka itulah yang meimbulkan berbagai problrm yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan tertentu. Pergaulan pria dan wanita itulah yang melahirkan berbagai interaksi yang timbul karenanya.
Islam sebagai agama yang mempunyai karakteristik moderat memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis. System interaksi (pergaulan) dalam islamlah yang menjadikan aspek ruhani sebagai landasan dan hukum-hukum syari’at tolok ukur yang didalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. System islam memandang manusia baik pria maupun wanita sebagai seorang yang memiliki naluri, perasaan, dan akal.
Dengan hukum-hukum inilah islam dapat menjaga interaksi antara pria dan wanita sehingga tidak menjadi interaki yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. Artinya interaksi mereka tetap dalam koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan dalam melakukan berbagai aktifitas. Dengan hukum-hukum inilah islam mampu memecahkan hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi.[[3]]

3.      Tata Cara Pergaulan Lawan Jenis Berdasarkan Repotase Hadist
a.       Haram Duduk Berdua (Berkhilwat) Dengan Perempuan Bukan Muhram.
Uqbah Ibn Amir ra. Menerangkan:

أَنَّ رَسُولُ اللهِ عليه وسلّم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يارسُولَ اللهِ ! أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟  قال: الْحَمْوُالْمَوْتُ.
Artinya :“Bahwsannya Rasulullah SAW bersabda: janganlah kamu masuk ke kamar-kamar perempuan. Seorang laki-laki Anshar berkata: Ya Rasulullah terangkan padaku bagaimana hukum masuk ke dalam kamar ipar perempuan. Nabi SAW menjawab; ipar itu adalah kematian (kebinasaan).”(al bukhari 67:111: muslim 39:8: Al lu’lu-u wal marjan 3;69-70)
Nabi tidak membenarkan kita masuk ke kamar-kamar perempuan, maka hal ini memeberi pengertian, bahwa kita dilarang duduk-duduk berdua-duaan saja dalam sebuah bilik dengan seorang perempuan tanpa mahramnya.
Ahli hadis tidak ada yang mengetahui nama orang anshar yang bertanya kepada Rasul tentang hukum kerabat-kerabat si suami yang selain dari ayah dan anaknya, masuk ke tempat istri si suami itu. Diterangkan oleh An Nawawy, bahwa yang dimaksud dengan Hamwu disini, ialah kerabat-kerabat si suami seperti saudaranya, anak saudaranya dan kerabat-kerabat lain yang boleh mengawini istrinya bila ia di ceraikan atau meninggal.
Yang tidak masuk ke dalam kerabat disini ialah ayah dan anak si suami karena mereka di anggap mahram.[[4]]
Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami menjumpai si istri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri dalam kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada kemurkaan Allah dan membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami menceraikan istrinya jika sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah timbul kejahatan dari kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang dilakukan oleh yang bukan kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk kedalam bilik-bilik si perempuan dengan tidak menimbulkan prasangka tang tidak-tidak. Mengingat hal ini perlu dihindari masuk ke dalam bilik orang lain.
Dikarenakan jika kita berada dalam satu tempat dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Dikhawatirkan kita akan terjebak untuk mengikuti hawa nafsu. Apabila seorang bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah. Ia akan terpaksa untuk mengikuti langkah itu dengan langkah berikutnya.
Dalam Al-Kafi, Imam As shidiq a.s diriwyatkan berkata: “waspadalah hawa nafsumu sebagaimana engkau mewaspadai musuhmu. Sebab tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi manusia selain kaetundukan pada hawa nafsu dan perkataan lidahnya.”[[5]]
b.      Haram melihat perempuan yang Bukan Mahram

عَنْ ابى هريرة رضيى اللهُ عنه النبيّ ص م قال،كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكُ لَامَحَالَةّ، الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظْر، ولأدنان زنا هما الاستماع واللسان زناه الكلام ، واليد زنا ها البطشى ، والرجل زنا ها الخطى واقلب يهوى ويتمنى ويصدق ذلك الفرج اويكذبه. (متفق عليه وهذا لفظ مسلم ورواايه البخارمحصرة)
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “telah ditentukan bagi anak adam (manusia) bagian zinanya. Dimana ia pasti mengerjakannya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara. Zina tangan adalah memukul, zina kaki adalah berjalan serta zina hati adalah bernafsu dan berangan-angan, yang semuanya dibuktikan atau tidk dibuktikan oleh kemaluan.(HR. Bukhari Muslim([6]
Dalam Hadits tersebut mengandung arti bahwa hadits Imam Bukhari termasuk zina anggota tubuh , tetapi semuanya tidak hanya dilakukan lewat kemaluan saja melainkan lewat anggota tubuh lainnya. Misalnya pandangan mata karena awal mula timbulnya hasrat dari pandangan mata yang tidak terkontrol atau tidak dijaga terhadap hal-hal yang memancing nafsu birahi , kemudian lisannya bicara yang tidak baik misalnya menggunjing orang lain, berdusta dan berbicara yang tidak menjurus perbuatan yang menimbulkan hasrat dengan lawan jenis.  
c.       Hadits tentang memandang wanita
مَامِنْ مُسْلِمٍ يَنْظُرُإِلَى إمْرَأةٍ أَوَّلَ نَظْرَةٍ ثُمَّ يَغُضُّ بَصَرَهُ إلاَّ أحْدَثَ الله لَهَ عِبَادَةً يَجِدُ حَلاَوَتَهَا
Artinya :“Tidaklah seorang muslim yang memandang seorang wanita dalam pandangan pertamanya. Kemudian ia palingkan pandangannya kecuali Allah menjadikannya nilai ibadah yang akan dirasakan kemanisannya.”
“Memandang wanita (bukan muhram) merupakan salah satu anak panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut akan Adzab Allah. Maka Allah akan menganugrahkan kepadanya iman yang dirasakan manisnya dalam hatinya.” [[7]]
B.     Larangan Berduaan Tanpa Mahram

وَعَنْهُ اِلاَّوَمَعَهَاذُوْمَحْرَمٍ وَلاَ رَضِى اللهُ َعْنهُ قَالَ : سَمِعْتُ رسول اللهِ صلى الله عليه و سلم َيخْطُبُ يَقُوْلُ : لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ِالاَّمَعَ ِذيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ. فقال:يارسول الله، ِإنَّ ِإمْرَأَتِى خَرَجَتْ حَا جَّةً وَ ِإنِّى ِاكْتَتَبْتُ فِى غَزْوَةٍ كَذَاوَكَذَا، فَقَالَ : اِنْطَلِقْ فَحَجِّ مَعَ إِ مْرَأَتِكَ. (متفق عليه)


Terjemahan  Hadis :
"Ibnu Abbas berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW berkotbah, "Janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya, dan janganlah bersafar (bepergian) seorang perempuan, melainkan dengan mahramnya. "Seorang berdiri dan berkata : Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada peperangan anu dan anu." Maka beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah bersama istrimu." (Mutatafaq’alaih) [[8]]

Penjelasan :
Hadits tersebut menunjukkan haram bersepi-sepian (berduan) laki-laki dan perem-puan yang bukan mahramnya. Dan ini sudah disepakati ulama. Telah dijelaskan dalam suatu hadits lain alasan larangan ini, ialah karena yang menjadi pihak ketiga adalah syetan yang akan menggoda mereka.
C.    Sopan Santun Duduk Di Pinggir Jalan
          Pasar dan jalan adalah tempat umum, tempat bertemunya banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka, bermu’umalah dan berinteraksi antarsesama. Sebagai seorang muslim ketka berada dijalan, hendaklah beretika dan sopan santun yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا 
Artinya:
“Dan hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al-Furqan:63)
Tentang etika berjalan telah dicontohkan Rasulullah, sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Halah tentang perjalanan Rasulullah ke pasar sebagai berikut, “Ketika berjalan Rasulullah melangkah dengan mantap, sedang dalam gerakan tidak terlalu cepat, sederhana, lebih banyak menundukkan dan mengucapkan salam kepada siapa yang ditemuinya.” (HR. Tirmidzi).[9]
Hadist :
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا : مَالَنَابُدٌّ إِنَّمَاهِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ : فَإِذَاأَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوْاالطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا : وَمَاحَقُّ الطَّرِيْقِ ؟ قَالَ : غَضُّ اْلبَصَرِوَكَفُّ اْلاَذَى وَرَدُّ السَّلاَم ِوَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ. (رواه البخاري ومسلم وأبوداود)
Terjemahan Hadits :
"Dari Abu Said Al-Khudry r.a. Rasulullah SAW. bersabda, Kami semua harus menghindari untuk duduk di atas jalan (pinggir jalan)-dalam riwayat lain, di jalan – mereka berkata, "Mengapa tidak boleh padahal itu adalah tempat duduk kami untuk mengobrol. Nabi bersabda, "Jika tidak mengindahkan larangan tersebut karena hanya itu tempat untuk mengobrol, berilah hak jalan." Mereka bertanya, "Apakah hak jalan itu?" Nabi bersabda, "Menjaga pandangan mata, berusaha untuk tidak menyakiti, menjawab salam, memerintahkan kepada kebaikan dan larangan kemunkaran. (H.R Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) [[10]]
Penjelasan Hadits :
Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik di tempat duduk yang khusus, seperti diatas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan berargumen bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulullah SAW. pun membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhi hak jalan, yaitu berikut ini.
1.      Menjaga Pandangan Mata
Menjaga pandangan merupakan suatu keharusan begi setiap muslim atau muslimat, sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam al-Qur'an :
Artinya : "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Hal itu tidak mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk dipinggir jalan. Ini karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai uisa dan berbagai tipe. Maka bagi para lelaki jangalah memandang dengan sengaja kepada para wanita yang bukan muhrim dengan pandanagan syahwat. Begitu pula, tidak boleh memandang dengan pandangan sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat. Pandangan seperti tidak hanya akan melanggar aturan Islam. Tetapi akan menimbulkan kecurigaan, persengketaan dan memarahan dari orang yang dipandangnya, apalagi begi mereka yang mudah tersinggung. Oleh karena itu, mereka yang sedang duduk dipinggir harus betul-betul menjaga pandangannya.
2.      Tidak Menyakiti
Tidak boleh menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya melempar dengan batu-batu kesil atau benda apa saja yang akan menyebabkan orang lewat sakit dan tersinggung, tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang yang lewat atau menyinggung perasaannya.
3.      Menjawab Salam
Menjawab salam hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkan- nya sunnat. Oleh karena itu, jika ada yang mengucapkan salam ketika duduk dijalan, hukum menjawabnya adalah wajib. Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan dibahas di bawah.
4.      Memerintahkan kepada Kebaikan dan Melarang kepada Kemungkaran.
Apabila sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, diwajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, doakanlah dalam hati supaya orang tersebut menyadari kekeliruan dan kesombongannya.
Dari penjelasan hadits tersebut memang di benarkan bahwa tidak bolek duduk-duduk di pinggir jalan, sebab dapat menggagu orang yang lewat. Dan larang tersebut dimaksutkan tidak boleh membuat tempat duduk di pinggir jalan. Serta dibolekan duduk-duduk asalkan sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Rasulullah.[[11]]
   Di antara etika yang diajarkan Islam ketika berjalan atau berpergian mesti diterapkan dalam kehidupan oleh setiap muslim sebagai berikut:[[12]]
1.          Menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan.
2.          Tidak duduk (nongkrong) di pinggir jalan.
3.          Memberi salam kepada orang lain dan menjawab orang yang mengucapkan salam kepadanya dengan jawaban lebih baik.
4.          Menjaga kebersih jalanan dan tidak membuang sampah di sembarang tempat, termasuk tempat orang lewat atau berkumpul.
5.          Menyingkirkan barang (gangguan) di jalan yang membahayakan bagi yang lewat seperti paku, kaca, batu dan sebagainya.
6.          Membantu orang yang membutuhkan pertolongan, memberi petunjuk bagi orang yang tersesat dan orang buta.
7.          Menjauhkn diri dari keramaian jalan-jalan dan pasar-pasar terutama yang marak kejahatan, kemungkaran, dan kemaksiatan.
8.          Berhati-hati ketika menyebrang dan berjalan agar tidak menabrak sesuatu, atau terperosok ke lubang serta tidak menoleh ke kanan dan kekiri ketika berjalan kecuali karena ada kepentingan.
9.          Tidak menyebrang kecuaki setelah yakin sepi dari mobil dan kendaraan.
10.      Berjalan dengan sederhana, tidak terlalu cepat atau lambat, tidak boleh congkak dan bangga serta sombong terhadap diri sendiri.
11.      Mengambil dan menyingkirkan makanan dari tengah jalan dan menjauhkan kertas-kertas yang bertuliskan nama-nama Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an dari tempat lewat manusia.
12.      Tidak makan dijalanan, karena hal itu akan mengurangi kesopanan dan harga diri.Tidak bermain di jalanan, karean hal itu akan mengurangi kesopanan dan harga diri. Dan menggunakan waktu yang tersita di jalanan untuk berdzikir, atau shalawat dalam hati.
13.               Menolong orang yang sedang teraniaya, dan memabantu orang yang lemah serta memberi orang yang minta-minta.
14.               Tidak boleh membuntuti orang sampai ke rumahnya atau pekerjaaanya.
D.    Menyebarkan Salam
Secara harfiah salam berasal dari kata salima- Yasiamu-Salaamatan, yang berarti selamat. Lafad ini dipakai dalam beberapa ayat Al-Quran, misalnya pada QS. Al-An’am:54, yang artinya ; “ Apabila orang – orang yang beriman kepada ayat – ayat Kami itu dating kepadamu, maka katakanlah; “ Salaamun’Alaikum ( Mudah – mudahan Allah melimpahkan keselamatan atas kamu), Tuhan-mu telah menetapkan atas dir-Nya kasih saying.”Kata salam yang merupakan isim mashdar dari kata salima memiliki makna yang cukup banyak, diantaranya keselamatan, kedamaian, ketenteraman, penghormatan, ketundukan dan ketaatan. Inilah makna – makna harfiah yang ada dalam salam.[[13]]
 Dari kata salima muncul kata aslama yang artinya menyelamatkan, mendamaikan, menenudukkan, dan seterusnya.[[14]] Dari kata aslama inilah muncul kata islam yang kemudian menjadi nama dari agama kita .
Al-jarjani mendifinisikan salam sebagai selamatnya seseorang dari bencana baik di dunia maupun di akhirat (tajarrud al-nafsi’an al-mihnati al-darain).[[15]] Dari definisi ini dijelaskan bahwa salam merupakan tujuan utama dari Islam, yakni selamatnya seorang Muslim di dunia dan di akhirat. Salam juga merupakan doa yang berisi permohonan kepada Allah Swt. Agar orang yang diberi salam memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat muslim adalah menyebarkan salam. Karena dengannya akan tumbuh rasa saling cinta di antara mereka, biarpun tidak saling mengenal.[[16]]
Karena begitu pentingnya isi dari salam , maka Allah memerintahkan kepada orang – orang yang beriman agar selalu mengucapkan atau menyebarkan salam kepada orang lain yang seiman, yang dijelaskan dalam :
1.      Al Quran
Allah SWT berfirman : “ Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah bukan rumhamu sebelum meminta izin dan member salam kepada penguninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (An Nuur [24]: 27).[[17]]
2.      Hadist
Rasulullah Saw bersabda:"Demi Dia yang diriku berada di tangan-Nya! Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perkara yang apabila kalian kerjakan, maka akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkan salam di antara kalian!" (HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:"Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makanan,sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia lain tengah tertidur; niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera" (At Tirmidzi).
3.      Sunnah Para Nabi dan Rasul
Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:"Ketika Allah telah menjadikan Adam, maka Allah memerintahkan:"Pergilah kepada para Malaikat dan ucapkan salam kepada mereka yang tengah duduk. Dengarkanlah jawaban salam mereka, karena itu akan menjadi ucapan salam bagi kamu dan anak cucumu kelak!" Maka pergilah Nabi Adam dan mengucapkan:"Asalaamu ‘alaikum!" Para Malaikat menjawab:"Assalaamu ‘alaika warahmatullaah!" Mereka menambah warahmatullaah" (HR. Bukhary dan Muslim).
4.      Keutamaan Salam
a.       Mengucapkan salam merupakan salah satu perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam hadits Barra’ bin Azib, ia berkata:“Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam \memerintahkan kami untuk melakukan tujuh perkara, yaitu; menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah, mendo’akan orang bersin yang mengucapkan alhamdulillah, membantu orang yang lemah, menolong orang yang dizhalimi, mengucapkan salam dan memenuhi sumpah.” (Muttafaq alaih).
b.      Menimbulkan kasih sayang antar sesama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan tidak beriman sehingga kamu saling mencintai. Dan maukah aku tunjukkan suatu perbuatan yang bisa membuatmu saling mencintai; yaitu tebarkan salam antar sesamamu.” (HR. al Bukhari - Muslim).
c.       Merupakan amalan yang terbaik dalam Islam. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Apakah amalan yang paling baik dalam Islam?” Beliau menjawab: “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu kenal maupun yang belum kamu kenal”. (HR. al Bukhari - Muslim).
d.      Mendapatkan berkah dan kebaikan dari Allah, sebagaimana firman-Nya: “Maka ketika kamu masuk rumah, ucapkan salam untuk dirimu sebagai penghormatan dari Allah yang berisi berkat dan kebaikan.” [[18]]
e.       Salam merupakan perbuatan yang bisa memasukkan pelakunya ke dalam surga. [[19]]
f.       Abu Yusuf Abdullah bin Salam Radhiallaahu anhu berkata; saya pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
”Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, lakukan silaturrahim, dan shalatlah ketika orang lain tidur malam, maka engkau akan masuk ke surga dengan selamat.” (HR. At Tirmidzi, dia berkata: “hasan shahih”).Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda :
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Artinya :“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan terhadap satu amalan yang bila kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)[[20]]









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’, serta memenuhi segala hal yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya.
2.      Haram bersepi-sepian (berduan) laki-laki dan perem-puan yang bukan mahramnya. Karena yang menjadi pihak ketiga adalah syetan yang akan menggoda mereka.
3.      Anjuran sopan santun ketika duduk di jalan, yaitu :
a.       Menjaga pandangan mata.
b.      Tidak menyakiti.
c.       Menjawab Salam.
d.      Memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran
4.      Salam juga merupakan doa yang berisi permohonan kepada Allah Swt. Agar orang yang diberi salam memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.
B.     SARAN
Semoga dengan makalah ini kita dapat memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari tentang tata pergaulan yang baik, berlaku sopan ketika dipinggir jalan, dan menyebarkan salam kepada sesama muslim. Penulis mengucapkan mohon maaf kepada semua pihak khususnya para dosen dan umumnya untuk semua mahasiswa mengenai kritik dan saran.Karena penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan makalah kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shidqi, Teuku Muhammad Hasby, Mutiara Hadits 6, Semarang ;PT Pustaka Rizqi Putra, 2003.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006.
Fatimah, Muhammad Khair Etika Muslim Sehari-hari, PUSTAKA AL-KAUTSAR, Jakarta

Khomeni, Imam, 40 Hadist Telaah atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.

Moh. Rifa’i, Akhlak Seorang Muslim, Semarang; Wicaksana, 1993.

Nashirudin Al-alnai, Muhammad, Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 199M.

Nawawy, Imam, Riadhus Sholihin Imam Nawawy,Jakarta: Pustaka Armani, 1999.

http://www.angelfire.com/md/alihsas/pengaturan.html (Diakses pada : Selasa 15 Maret 2016, pukul 19.00 wib)

https://remajaislam.com/67_adab_bergaul_dengan_lawan_jenis.html (Diakses pada : Kamis 17 Maret 2016, pukul 19.00 wib)

HR at-Tirmidzi (2694), Kitab Permohonan Izin dan Adab dari Rasulullah, Pasal Dalil tentang Keutamaan Orang yang Memulai Memberi Salam.

HR Abu Dawud (5197), Kitab Adab, Pasal Tentang Keutamaan Orang yang Memulai Memberi Salam. Dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah (VII: 3382), Takhrij al-Misykah (III: 4646), Shahih at-Targhib (III: 2703), dan Shahih al-Jami (I: 2011).

http://suarakomunitas.net/baca/5123/keutamaan_menyebarkan_salam.html (Diakses pada : Kamis 17 Maret 2016, pukul 20.00 wib)



[[1] ] Muhammad Khair Fatimah, Etika Muslim Sehari-hari, 2002.PUSTAKA AL-KAUTSAR, Jakarta. Hlm. 281-282
                [[2] ] ibid, hlm 283.
                [[3]]http://www.angelfire.com/md/alihsas/pengaturan.html

                [[4]]Teuku Muhammad Hasby Ash Shidqi, Mutiara Hadits 6, Semarang ;PT Pustaka Rizqi Putra, 2003, hal., 365.
                [[5]] Imam Khomeni, 40 Hadist Telaah Atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004, hal., 196.
                [[6]]Imam Nawawy, Riadhus Sholihin Imam Nawawy, Jakarta: Pustaka Armani, 1999, hal. 498.
                [[7]]Muhammad Nashirudin Al-alnai, Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 199M, hal.  266-267.
                [[8]] Maktabah samilah
                [[9] ]HR. Tirmidzi
                [[10]]HR. Bukhori, Muslim, Anu Dawud.
                [[11] ]ibid.
    [[12]] Muhammad Khair Fatimah, Etika Muslim Sehari-hari, 2002.PUSTAKA AL-KAUTSAR, Jakarta.  hlm 309-311.
                [[14]] Munawwir, 1984:699.
                [[15]] Al-Jarjani, 1988: 120
                [[17]] An Nuur [24]: 27
                [[18]] An-Nur: 61
                [[20]] HR. Muslim no. 192

No comments: