Sunday, October 9, 2016

Tuhan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam



MAKALAH
 TUHAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam
Dosen: Dr. H. Sardimi, M.Ag.

Disusun Oleh:
Siti Nurjanah
1501112023
Irma Yanti
1501112028
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 1437 H/2016 M
KATA PENGANTAR

AssalamualakumWr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Tuhan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Filsafat Pendidikan Islam” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada “Dr. H. Sardimi, M.Ag..” yang telah membimbing kami dan teman-teman satu kelompok yang telah  bekerja sama sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Terimakasih
Wassalamu’alaikumWr. Wb.



                                              Palangkaraya,     2016

Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI  ..................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang ...................................................................................  1
B.   Rumusan Masalah ..............................................................................  1
C.  Tujuan Penulisan .................................................................................  2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tuhan .................................................................................
B.     Pengertian Tuhan Menurut Para Filosof ..............................................
C.     Implikasi Tuhan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam .............

BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan .......................................................................................  15
B.  Saran .................................................................................................  16
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
           Hampir seluruh umat manusia diseluruh dunia memiliki kepercayaan tentang Tuhan yang mengatur alam semesta ini. Orang-orang Hindhu zaman dahulu percaya dewa-dewa, serta memiliki banyak dewa-dewa yang mereka percaya dan yakini sebagai Tuhan mereka. Dan pengaruh ini terus menyebar ke masyarakat Arab, yang meskipun mereka ditanaya tentang penguasa dan pencipta langit dan bumi mereka menjawab “Allah” tetapi pada saat yang sama mereka juga menyembah berhala seperti Lata, Uzza, dan Manata.
         Artinya mereka semua hanya mempercayai akan tetapi dalam aplikatifnya mereka belum melakukannya. Bahkan jika kita ihat mereka seperti tidak percaya dengan adanya Tuhan. Dan bahkan tak jarang sebagian dari meraka juga masih  menganggap Tuhan itu adalah segala sesuatu yang memiliki kekuatan, kekuasaan, yang berbeda dengan makhluk hidup. Atau sesuatu yang gaib yang dipercaya memiliki kekuatan yang lebih besar dari makhluk.  Akan tetapi mereka sndiri ketika ditanya siapakah Tuhan itu, seperti apakah wujudnya? Meraka juga masih bingung, oleh karena itu penulisan makalah ini berusaha menjawab dan mencari tahu siapa kah Tuhan itu menurut pespektif filsafat pendidikan islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Tuhan?
2.      Bagaimana Pengertian Tuhan Menurut Pandangan Filosof?
3.      Bagaimana Tuhan Menurut Perspektif Filsafat Pendidikan Islam?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Tentang Tuhan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Tuhan
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
وَقَالَ فِرعَونُ يَٰأَيُّهَا ٱلمَلَأُ مَا عَلِمتُ لَكُم مِّن إِلَٰهٍ غَيرِي فَأَوقِد لِي يَٰهَٰمَٰنُ عَلَى ٱلطِّينِ فَٱجعَل لِّي صَرحا لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُۥ مِنَ ٱلكَٰذِبِينَ
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”[1]
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
 Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.[2]
Tuhan atau Allah dalam pemikiran pendidikan islam lebih tepat sebagai al-Rabb yang berarti pencipta, pemelihara, dan pengembang alam semesta dengan kasih sayang-Nya, yang dapat dirasakan melalui proses transferring (pemindahan) pengetahuan dalam pendidikan islam.[3]
1.      Tuhan dalam Islam
       Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama ajaran islam yang menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada di dalam diri manusia/insan. Ini merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadian manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Ar-Rum: 30 yang berbunyi:[4]
فَأَقِم وَجهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفا فِطرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيهَا لَا تَبدِيلَ لِخَلقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Serta dalam surat Al-A’raf ayat 172 yang berbunyi:[5]
 وَإِذ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِم ذُرِّيَّتَهُم وَأَشهَدَهُم عَلَىٰ أَنفُسِهِم أَلَستُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَومَ ٱلقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَن هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
Artinya:Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Apakah Tuhan itu? Menurut Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan dalam Islam adalah Allah. Disebutkan dalam Al-Quran lebih dari 2.500 kali, di luar penyebutan tentang substansi-Nya seperti al-rabb atau al-rahman.[6]
Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat mendefinisikan kata Allah sebagai nama yang menunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya (al-Ilah al-haqq), yang merupakan kumpulan makna bagi seluruh nama-nama-Nya yang baik (al-asma al-husna). Toshihiko Izutsu secara semantic menjelaskan bahwa Allah merupakan kata focus tertinggi dalam sistem Al-Qur’an. Pandangan teosentrik Al-Qur’an ini telah membuat konsep tentang Allah menjadi menguasai keseluruhan kandungan Al-Qur’an. Hingga pada masa nabi Muhammad berdakwah, orang-orang Arab Pagen telah memiliki kepercayaan yang kabur terhadap Allah sebagai Tuhan tertinggi. Saat ini kata “Allah” merupakan makna dasar ketuhanan. Yang kemudian dibawa masuk oleh sistem islam sehingga Al-Quran menggunakannya sebagai nama Tuhan dalam wahyu Islam. Tuhan dalam konteks ini dipahami sebagai dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Dia memberikan arti dan kehidupan kepada sesuatu. Dia adalah tak terhingga, dan hanya Dialah yang tak terhingga. Menurut Yusuf Musa dalam Al-Quran wa al-Falsafah, keyakinann kaum muslim kepada Allah sebagai Tuhan YME, maha mengetahui, maha bijaksana, dan maha lainnya, merupakan akidah islamiyah tentang ketuhanan. Yang menjelaskan bahwa Allah adalah pencipta yang tidak memiliki awal dan akhir. Allah adalah mahakuasa dan maha mengetahui segala sesuatu yang ada dilangit dan bumi. Alam ini adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan dari yang tidak ada. Lalu Musa menjelaskan bahwa akidah Islamiyah ini apabiladilihat dari sudut filsafat akan menemukan adanya dua wujud abadi  dan wujud zamani. Wujud abadi adalah wujud Yang Maha Sempurna secara mutlak. Adapun wujud zamani adalah alam yang ada sementara.keyakinan bahwa zaman itu tidak abadi, karena zaman ini diadakan oleh wujud yang abadi, artinya zaman memilikipermulaan dan pengakhiran.[7]
2.      Eksistensi Allah
 Tuhan secara terminology memiliki banyak bentuk sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menyebut God, Allah, Yang Maha Kuasa, ingkang murbahing dumadi, dan lainnya. Dalam Islam istilah Tuhan dikenal dengan nama Allah, yang berasal dari bahasa Arab. Siapakah Allah itu? Bagaimana wujudnya? Bahkan dalam dalil naqli pun tidak ditemukan adanya kejelasan tentang wujud Allah yang nyata sebenarnya seprti apa.
Tuhan tidak mungkin dan tidak akan pernah menjadi kajian ilmu, karena kajian ilmu sangat terbatas, terukur dan selalu berubah dan diuji secara berulang-ulang oada laboratorium manusia, secara keilmuan. Keinginan untuk membuktikan Tuhan melalui pendekatan ilmu akan selalu mengalami kegagalan karena sudah sejak awal tidak ditemukan metodologi yang baku, karena Tuhan tidak dapat dibawa, diukur, ditimbang, difoto dan diujicobakan dalam laboratorium. Jadi, bukan berarti Tuhan tidak ada karena ketidaktahuan, Tuhan barangkali dilakukan karena kesalahan metodologi/pendekatannya.[8]
Fazlur Rahman mengatakan Al-Quran telah menyatakan bahwa keyakinan kepada yang lebih tinggi daripada alam adalah “keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib”. Eksistensi Tuhan bagi mereka yang suka merenungi hal ini tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang “irrasional” dan “tidak masuk akal” tetapi berubah menjadi “ Kebenaran Tertinggi”. Dan yang menjadi masalah adalah bukanlah bagaimana caranya membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti “teologis” mengenai eksistensi Tuhan, tetapi bagaimana membuat manusia beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepadaberbagai fakta yang jelas, dan mengubah fakta-fakta itu menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia untuk memahami eksistensi Tuhan. Ada 3 hal yang perlu diingat manusia untuk memahami eksistensi Tuhan, yaitu:
a.       Segala sesuatu selain Allah, termasuk alam semesta senantiasa bergantung pada Tuhan.
b.      Tuhan Yang Maha Besar dan Perkasa pada dasarnya adalah Yang Maha Pengasih
c.       Hal-Hal yang sudah pasti mensyaratkan adanya hubungan yang tepat antara Tuhan dan manusia, yaitu hubungan antara yang diper-Tuan dengan hamba-Nya, yang konsekuensinya melahirkan hubungan manusia dengan manusia.[9]

Kalau eksistensi Tuhan dapat dipahami sebagai sesuatu yang bukan irrasional, bagaimana caranya? Rahman menulis dengan jelas:
“ … begitu engkau mengurangi dari mana kemana alam semesta ini maka engkau pasti akan menemukan Tuhan. Pernyataan ini bukan merupakan bukti terhadap eksistensi Tuhan, karena menurut Al-Quran : Jika engkau tidak menemukan Tuhan, maka engkau tidak akan membuktikan eksistensinya…’ Menemukan’ bukan sebuah perkataan yang hampa. Perkataan ini meminta sebuah re-evaluasi total terhadap urutan realitas yang prima … Konsekuensi dari penemuan adalah bahwa Tuhan tidak dapat dipandang sebagai sebuah eksistensi diantara eksistensi-eksistensi lainnya… Tuhan ada bersama setiap sesuatu. Dialah yang menyebabkan integritas dari setiap sesuatu itu melalui  dan didalam hubungannya dengan yang lain, berhubungan pula denganTuhan. Jadi Tuhan adalah makna dari realitas, sebuah makna yang dijelaskan serta dibawakan oleh alam, dan selanjutnya oleh manusia. Setiap sesuatu dialam semesta ini adalah petanda eksistensi Tuhan… dan aktivitas-Nya yang mempunyai maksud dan tujuan akan dilanjutkan oleh manusia.[10]
Intinya bahwa untuk dapat mengenal dan mengetahui eksistensi Tuhan maka lihat dan pelajarilah tanda-tanda kekuasaan dan keagungan_Nya.
Al-Quran juga menunjukkan cara untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta yang ada. Pernyataan inisesuai dengan hadis Qudsi yang berbunyi “ Aku adalah sesuatu yang tersembunyi.Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenalKu. Begitupun juga menurut Ibnu ‘Arabi dalam studi filasafat islam.
3.      Hakikat Tuhan
Pemikiran tentang Tuhan ini telah secara sadar dimiliki oleh setiap orang. Seperti ditegaskan oleh Karen Amstrong, bahwa sejak mula pertama umat manusia sudah bisa menyadari adanya satu kekuatan yang maha kuat, yang diyakini sebagai kekuatan yang telah menciptakan dan menguasai kehidupan manusia. [11]
a.    Argument Ontologis
   Argument ontologis ( ontos= sesuatu yang berwujud, ontology = teori/ilmu tentang  wujud tentang hakikat yang ada. Argumen dipelopori oleh filosof Yunani Plato (428-348 SM) yang dikenal dengan teori ide.[12] Dia menganggap bahwa semua yang ada dialam nyata muncul karena ada dalam ide. Ide adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu, dan ide ini yang merupakan hakekat sesuatu.
             Keberadaan Tuhan berada dalam persepsi sesuai dengan yang dipersepsikan. Dalam setiap agama diajarkan tentang Tuhan sebagai suatu prinsip dasar ajaran agama. Apakah masing-masing agama mempunyai Tuhan sendiri-sendiri. Jadi jika masing-masing agama punya Tuhan sebagaimana banyaknya agama-agam terjadi benturan antara Tuhan yang dipersepsikan terjadi adu argument antar Tuhan yang paling benar. Al-Quran memberi isyarat bahwa jika di dunia banyak Tuhan pasti akan terjadi kerusakan di bumi dan dilangit yang diakibatkan peperangan antar pemuja–pemuja Tuhan yang dipersepsikan penganut agama. Yang dijelaskan dalam surat Al-Anbiya: 19-22;[13]
وَلَهُۥ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرضِۚ وَمَن عِندَهُۥ لَا يَستَكبِرُونَ عَن عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَستَحسِرُونَ ١٩ يُسَبِّحُونَ ٱلَّيلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفتُرُونَ ٢٠  أَمِ ٱتَّخَذُواْ ءَالِهَة مِّنَ ٱلأَرضِ هُم يُنشِرُونَ ٢١ لَو كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبحَٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلعَرشِ عَمَّا يَصِفُونَ ٢٢
Artinya:
19. Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.
20. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.
21.Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)
22. Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

b.    Argument Kosmologis
                Argument ini disebut juga argument sebab akibat yang muncul dari faham bahwa alam adalah bersifat mungkin dan bersifat wajib dalam wujudnya. Karena alam ini alam yang dijadikan maka ada zat yang menjadikannya.
     Argument ini dikemukakan pertama kali oleh Aristoteles (384-322 SM) murid Plato. Bagi Plato tiap yang ada di alam mempunyai ide, bagi Aristoteles tiap benda yang dapat ditangkap pancaindra mempunyai materi dan bentuk.bentuk. bentuk terdapat dalambenda-benda sendiri, dan bentuklah yang membuat materi mempunyai bangunan atau rupa. Bentuk bukan merupakan bayangan tetapi adalah hakikat dari sesuatu. Bentuk tidak dapat berdiri sendiri tanpa materi. Materi tanpa bentuk tidak ada.[14]
c.       Argumen Teologi
Argument ini berarti alam yang diatur menurut suatu tujuan tertentu. Alam ini keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Tujuannya untuk kebaikan universal dibawah pimpinan manusia yang bermoral tinggi, maka mestilah ada suatu zat yang menentukan tujuan dan membuat alam ini beredar dan berevolusi kea rah tujuan tertentu. Zat inilah yang disebut Tuhan. Menurut argument teologis alam ini mempunyai tujuan dan evolusinya. Alam sendiri tidak dapat menentukan tujuan tersebut. Yang menentukan haruslah suatu zat yang lebih tinggi dari alam itu sendiri, yaitu Tuhan.[15]
4.      Bukti adanya Tuhan
             Menurut ImamAbu Hanafiah membuktikan kekuasaan Allah dengan adanya bermacam-macam ragam kehendak manusia, tetapi kadang-kadang kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Hal ini membuktikan adanya kekuasaan yang Maha Tinggi, yang menguasai diri kita.
             Imam Malik membuktikan kekuasaan Allah dengan adanya manusia yang beragam-ragam bentuk, rupa, kulit, suara, kemauan dan lain-lain. Namun tidak ada yang serupa. Kalau dipikirkan tentu ada yang mengaturnya diluar bataskemauan manusia, yaitu Zat Yang Maha Kuasa, yakni Allah SWT.
             Imam Syafi,i membuktikan kekuasaan Allah dengan memperhatikan dari sebuah jenis daun tumbuh-tumbuhan yang dapat berubah menjadibermacam-macam benda, umpamanya: apabila daun dimakan oleh ulat sutera, maka akan menjadi bahan kain yang halus (sutera) yang indah dipakai. Kalu dan tadi dimakan oleh seekor sapi/lembu, maka ia akan menjadi susu yang paling enak diminum dan paling besar manfaatnya untuk kesehatan kita.
             Imam Hambali membuktikan ada Zat yang Maha Kuasa itu dengan kejadian makhluk-makhluk terutama manusia, yang asalnya dari setitik sperma, akhirnya setelah mengalami proses yang ditentukan, maka jadilah manusia yang sempurna. Sehubung dengan hal itu, Hamka mengemukakan beberapa argument/dalil yang dapat membuktikan eksistensi Tuhan.[16]

B.  Pengertian Tuhan Menurut Pandangan Para Filosof
Pembahasan tentang eksistensi Tuhan secara filosofis sebenarnya menuntut pembuktian yang berdasarkan nalar. Inilah yang menjadi perdebatan kaum filsuf, kaum teolog dan kaum sufi. Menurut Amin Abdullah, perdebatan antar ketiganya dalam tradisi keilmuan Islam begitu sengit sehingga tak jarang terjadi saling mengkafirkan, memurtadkan dan mensekularkan. [17] Beberapa argumen yang dikemukakan oleh para filsuf dengan argumaen burhani-nya, berkaitan dengan eksistensi Tuhan adalah sebagai berikut :
1.      Al-Kindi seorang filsuf Arab (w.sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan (dalil al-huduts) nya. Ia mengatakan bahwa alam semesta ini betapapun luasnya adalah terbatas. Karena terbatas, alam tidak mmungkin memiliki awal yang tidak terbatas. Oleh karena itu, alamyang terbatas ini tidak mungkin bersifat azali ( tidak mempunya awal). Ia mesti memiliki titik awal dalam waktu, dan materi yang melekat padanya juga terbatas oleh gerak dan waktu.jika materi,gerak dan waktu dari alam ini terbatas, berarti alam semesta ini baru (hudust). Segala sesuatu yang baru bagi Al-Kindi pasti dicipta (muhdats ). Kalau alam dicipta maka memunculkan adaya pencipta. Itulah Tuhan sebagai sebab pertama. Dalam kajian filsafat argumen kebaruan Al-Kind disebut dengan argumen kosmologi,yang menggunakan hukum “sebab-akibat”.[18]
2.      Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan ( dalil al-jawaz) atau kontingesi. Ia membagi wujud dalam tiga kategori ; Wujud Niscaya (wajib al-wujud) adalah wujud yang senantiasa harus ada dan tidak boleh tidak ada, wujud mungkin (mumkin al-wujud) adalah wujud yang boleh saja ada atau tiada, dan wujud mustahil (mumtani al-wujud) adalah wujud yang keberadaannya tidak terbayangkan oleh akal. Alam ini adalah wujud yang boleh ada dan boleh tidak ada. Karena alam merupakan wujud yang boleh ada, alam bukan wujud niscaya, namun karena alam juga boleh tidak ada maka dapat dikatakan wujud mustahi. Akan tetapi nyatanya bumi ini ada maka dipastikan sebagai wujud yang mungkin. Terma “mungkin” adalah potensial,kebalikan dari aktual. Dengan mengatakan bahwa alam ini mungkin pada dirinya,berarti sifat dasar alam adalah potensial,boleh ada dan tidak bisa mengada dengan sendirinya. Karena alam ini potensial, ia tidak mungkin ada (mewujud) tanpa adanya sesuatu yang telah aktual, yang telah mengubahnya dari potensial menjadi aktualitas. Itulah tuhan yang wujud niscaya. Argumen kemungkinan ini sering disebut dalil ontologi karena pendekatannya menggunakan filsafat wujud.[19]
3.       Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dengan argumen rancangan (dalil al-inayah)nya. Dengan pemikiran rasional-religiusnya berpendapat bahwa perlengkapan (fasilitas) yang ada di alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia. Hal ini merupakan bukti adanya Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Melalui  “rahmat” yang ada di alam ini, membuktikan bahwa Tuhan ada. Selain itu penciptaan alam yang menakjubkan, seperti adanya khidupan organik, persepsi indrawi,dan pengenalan intelektual merupkan bukti lain adanya Tuhan melalui konsep penciptaan keserasian. Penciptaan ini secara rasional bukanlah suatu kebetulan, melainkan haruslah dirancang oleh agen yang dengan sengaja dan kebetulan dan bijaksana melakukannya dengan tujuan tertentu. Oleh karena berdasarkan pandangan adanya keserasian Tuhan, konsep Tuhan menurut Ibnu Rusyd ini sering disebut pandangan teleology.[20]
4.      Menurut Aristoteles
          Menurut Aristoteles, Tuhan adalah zat yang memberi arti kepada alam, akan tetapi dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita mintai. “ Tuhan”-nya Aristoteles merupakan “it” dan bukan “ he”.
Hipotesa yang dikemukakan oleh Theisme. Theisme berarti bahwa Tuhan itu ada, dan merupakan suatu realitas yang bersifat transcendent dan mempunyai suatu maksud atau tujuan yang bersifat immanent. Theisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah zat yang menciptakan alam dunia. Kepercayaan ini bersifat realis oleh karena di dalamnya Tuhan merupakan sesuatu zat yang tersendiri dan tidak bersandar kepada pengetahuan kita terhadapnya.[21]
5.      Menurut Al-Jurjani
Dalam kitab al-Ta’rif mendefinisikan kata Allah sebagai nama yang menunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya (al-Illah al-Haqq), yang merupakan kumpulan makna bagi seluruh nama-nama-Nya yang baik (al-asma al-husna).       

C.  Implikasi Konsep Tuhan Dalam Filsafat Pendidikan Islam
1.    Allah sebagai pencipta hendaknya dikenal, diketahui, dan diyakini manusia melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya.
2.    Allah sebagai Rabb mengandung arti bahwa Allah pengatur dan pemelihara alam semesta.
3.    Allah sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang disebut al-asma al-husna.
4.    Melalui argument kosmologi, Filsafat Pendidikan Islammengandaikan keterbatasan manusia sebagai makhluk. Yang diindikasikan adanya tujuan jangka pendek dan jangka panjang bagi pendidikan islam.
5.    Melalui argument ontology, filsafat pendidikan islam mengasumsikan bahwa manusia sebagai wujud mungkin memiliki beberapa potensi.
6.    Melalui argument teologi, filsafat pendidikan islam memformulasikan bahwa alam semsta dirancang Allah sebagai fasilitas hidup bagi kehidupan manusia.[22]







BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Tuhan
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
2.      Tuhan Menurut Para Filosof
a.  Al-Kindi seorang filsuf Arab (w.sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan (dalil al-huduts) nya.
b. Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan ( dalil al-jawaz) atau kontingesi..Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dengan argumen rancangan (dalil al-inayah)nya. Dengan pemikiran rasional-religiusnya berpendapat bahwa perlengkapan (fasilitas) yang ada di alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia.
c.  Menurut Aristoteles, Tuhan adalah zat yang memberi arti kepada alam, akan tetapi dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita mintai.
3.      Implikasi
a.       Allah sebagai pencipta
b.      Allah sebagai Rabb
c.       Allah sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang disebut al-asma al-husna.
d.      Melalui argument kosmologi
e.       Melalui argument ontology
f.       Melalui teologi





























DAFTAR PUSTAKA
Ali Riyadi Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, 2010, Yogyakarta:Teras.
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, 2007. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Haris Abd, Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Amzah.
Syarif Iberani Jamal, Mengenal Islam, 2003. Jakarta: El-Kahfi.
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, 2013, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Trueblood David, Philosophy Of Religion Filsafat Agama, 1987, Jakarta: PT Bulan Bintang
https://fitrianingsiiain.blogspot.com>makalah_pandangan_Islam_tentang_Tuhan_diakses_pada_tanggal_23_September_2016_pukul_19.32.



                [1] QS. Al-Qasas:38.
                [2]https://fitrianingsiiain.blogspot.com>makalah_pandangan_Islam_tentang_Tuhan.
                [3] Abd. Haris, Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam, AMZAH: Jakarta, 2012. Cet. 1. Hlm. 72.
                [4] QS. Ar-Rum:30.
                [5] QS. Al-A’raf: 172.

                [6] Ibid, hlm.64.
                [7] Ibid, hlm. 65-66.
                [8] Ahmad Ali Riyadi, Filsafat Pendidikan Islam, TERAS: Yogyakarta. 2010. Cet 1. Hlm. 125.
                [9] Ibid, Toto Suharto, hlm. 67.
                [10] Ibid, hlm.68.
                [11] Jamal Syarif Iberani, Mengenal Islam, El-Kahfi: Jakarta. Cet. 1. Hlm. 6.
                [12] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2007. Cet. 1. Hlm. 169.
                [13] QS. Al-Anbiya:19-22.
                [14] Ahmad Ali Riyadi, Filsafat Pendidikan Islam, TERAS: Yogyakarta. 2010. Cet 1. Hlm. 129.
                [15] Ibid. hlm. 134.
                [16] Jamal Syarif Lberani, Mengenal Islam, El-Kahfi: Jakarta. 2003 cet 1. Hlm8-9.
                [17] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media: Jogjakarta. 2013. Cet. 2. Hlm. 72.

                [18] Ibid, hlm.72.
                [19] Ibid.
                [20] Ibid, hlm.73.
                [21] David Trueblood, Philosophy Of Religion, Filsafat Agama,PT Bulan Bintang: Jakarta, 1987. Cet 7. Hlm47.(
                [22] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media: Jogjakarta. 2013. Cet. 2. Hlm. 76.

No comments: